Selasa, April 22, 2008

novel yang belum selesai

dan belum ada judul


(4)

NALURI paling purba manusia adalah menyelamatkan diri ketika oleh karena beberapa hal ada ancaman terhadap keselamatannya. Naluri yang hanya berbatas tipis dengan makhluk lain yang bernama binatang. Sama dengan manusia, binatang juga punya insting untuk menyerang atau bertahan. Hanya saja yang menjadi pembeda di antara keduanya adalah logika. Binatang tak mampu mencerna hukum kausalitas yang memastikan sebuah akibat terjadi pasti lantaran ada penyebabnya: ada asap pasti ada api. Namun manusia, bisa mengolah dengan pikirannya sejauh mana penyebab-penyebab dan sejauh mana pula kadar akibat yang akan ditanggungnya.

Jika kemudian Don memutuskan untuk mengungsi, itu lantaran ia menilai penyebab-penyebab yang dihadapinya sudah pada takaran riskan bagi kelangsungan hidup dirinya maupun keluarganya. Gempa bumi berskala 5.9 pada Skala Richter yang meluluh-lantakkan belahan selatan Jogja pagi hari itu – dan berlanjut pada gempa susulan-gempa susulan yang frekuensinya terus meningkat – bisa berakibat fatal bukan saja bagi jiwa mereka namun juga psikologi dua bocah manisnya. Trauma berkepanjangan bukan tidak mungkin akan dialami dua bocah yang diharapkan menjadi penerus dinastinya: Dinasti Don yang meskipun tak punya kekuasaan dan kekuatan sebagaimana Michael Corleone – yang berkat kesabarannya menjadi penerus kekuasaan Dinasti Corleone[17] – namun tetap punya makna sangat besar bagi lingkup kecil keluarga dan kerabatnya.

Don melihat Si Kecil sudah mulai dirundung cemas. Pengalaman pertama dalam hidupnya yang belum genap delapan tahun itu tampak jelas mulai menghantuinya. Sorot matanya kerap terlihat sayu manakala gambar-gambar tentang para korban bermunculan di semua saluran televisi. Don tak tahu apa yang ada di pikiran anak bungsunya itu. Don tak bisa menyelami apa yang tengah dibayangkan bocah yang tanggal lahirnya bertepatan dengan tewasnya John Lennon akibat penembakan di depan apartemennya: 8 Desember. Bagi Don, tanggal itu sangat istimewa. Seorang legenda yang diidolainya yang menyebarkan aroma perdamaian di seluruh dunia, harus meregang nyawa oleh sebuah kekerasan yang sangat ditentangnya. Don merasa bersyukur, Tuhan memberinya kado indah pada tanggal yang sangat dikenangnya itu. Tuhan memberikan sesosok bayi mungil yang diharapkan juga bisa menyebarkan perdamaian di bumi yang sudah sangat gerah ini.

Kecemasan Don terhadap trauma Si Kecil melebihi kecemasannya manakala dua bocah manisnya itu ikut-ikutan menonton tayangan berita kriminal di layar kaca yang acapkali mempertontonkan kekerasan jauh melebihi film-film yang disensor secara dahsyat. Seolah-olah kekerasan merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan. “Hidup ini keras, Kawan. Bertahan hidup tak bisa hanya dengan sikap lembek. Berjuang untuk hidup harus dengan modal otot yang besar, bukan otak yang luas.”

Ihwal berita kriminal ini, Don teringat seorang kawan bulenya yang sudah cukup lama bermukim di Jogja. Kawan asal Belgia itu masih saja terkejut setiap menonton televisi antara pukul 11:00 hingga 13:00. Pada jam-jam itu, sebagian besar saluran televisi menayangkan berita kriminal secara bergiliran. “Apakah mereka teroris? Mengapa mereka selalu ditembak?” itu komentar yang selalu muncul dari mulutnya manakala melihat beberapa orang berpakaian preman berbadan besar memapah satu dua orang yang tertatih-tatih lantaran kakinya dihadiahi timah panas.

Bagi kawan Don itu, aneh rasanya melihat seorang penjahat harus bertaruh nyawa dan merasakan kesakitan di tempurung kakinya akibat peluru disemayamkan di sana. Di kamusnya, tembakan hanya layak diberikan kepada teroris yang telah menghilangkan banyak nyawa dan tak mau menyerah. Kalimat terakhir “tak mau menyerah” itu selalu diberi penekanan. Artinya, hanya mereka yang tetap mencoba bertahan dan membahayakan orang lain – apalagi yang nyata-nyata mempunyai sandera – yang patut ditembak. Itu pun setelah melalui proses yang panjang: antara lain dengan negosiasi, mencoba membujuk atau mencoba menjebak dengan pura-pura memenuhi tuntutan mereka.

Kawan Don itu belum tahu tentang anekdot tembakan yang selalu meleset – niatnya menembak kaki, ternyata yang kena kepala; niatnya memberi tembakan peringatan, ternyata yang terkena punggung – meskipun dilakukan pada jarak yang sangat dekat, disertai dengan pernyataan yang selalu sama: mereka berusaha melarikan diri ketika diminta menunjukkan tempat persembunyian rekan-rekannya. Seolah-olah tak ada kalimat lain yang bisa disusun.

Tapi itulah kehidupan yang terdiri atas dua wajah yang selalu bertolak belakang. Di satu sisi orang berteriak-teriak menyuarakan perdamaian, di sisi lain banyak orang yang justru membuat kekerasan. Di satu keping orang-orang ingin membuat ketenteraman, di keping yang lain selalu ada orang yang justru sengaja membuat keonaran. Dalam kehidupan yang amburadul itulah, generasi demi generasi terlahir. Masing-masing dengan membawa takdir dan jalan hidup yang berbeda untuk mengisi dua keping wajah kehidupan yang bertolak belakang itu.

Don tak ingin dua bocah manisnya hidup di kepingan yang penuh kekerasan, meski ia sendiri tak mampu sepenuhnya menjamin bisa mengalirkan kehalusan dan perdamaian dalam urat nadi keduanya. Namun setidaknya ia selalu berusaha, selalu mencoba, salah satunya dengan menyekolahkannya di sekolah yang berbasis agama: SD Muhammadiyah. Ia ingin, fondasi yang kukuh bisa menopang masa depan kedua bocah manisnya itu dalam sebuah bangunan mental yang bijak dan penuh kearifan. Sebuah cita-cita yang mungkin sederhana, namun bagi Don sangat istimewa.[18]

Karena itulah, ketika kecemasan, ketakutan, kekhawatiran membayangi Si Kecil, Don ingin serta-merta menyingkirkannya. Don tak ingin buah hatinya mengalami trauma psikis. Anak sekecil itu selayaknya menghiasi hidupnya dengan buah-buah yang manis dan segar, bukan dengan gambaran kehancuran dan bencana yang seolah-olah hendak menyatakan kehidupan telah berakhir. Tak ada lagi yang tersisa. Dan tempat teraman dalam lingkaran logikanya adalah tempat ibunya di pantura. Kerangka berpikirnya sederhana: gempa terjadi di Jogja dan sekitarnya yang notabene berada di wilayah selatan, itu berarti wilayah utara Pulau Jawa relatif lebih aman. Apalagi menurut kabar yang didengarnya, meski goncangan juga dirasakan di wilayah pantura, namun kadarnya sangat jauh lebih ringan. Itu pun hanya sekali, ketika Jogja dan sekitarnya digoyang dalam skala 5.9 Skala Richter. Selebihnya, ketika gempa susulan terjadi, wilayah pantura sudah kembali ke ketenangan semula.

Maka, ke sanalah Don memboyong keluarganya.

***

DALAM kondisi normal, seharusnya Don berada dalam situasi yang sangat kelelahan. Setelah semalaman tak menitipkan sebagian hidupnya ke alam istirahat yang nyaman ditambah kecemasan dan ketidakpastian nasib yang digaulinya sejak pagi hingga siang dan keharusan melakukan perjalanan jauh ke luar kota selama sekitar empat jam, mestinya membuat tubuh Don kehabisan energi, sendi-sendinya tak lagi punya daya dan matanya tak lagi bercahaya. Namun itulah keajaiban. Dalam situasi darurat, selalu saja ada tenaga ekstra yang hadir begitu saja tanpa diketahui dari mana asalnya. Seperti yang secara fisik selalu digambarkan oleh film-film action khas Hollywood, di saat sang jagoan terjepit antara hidup dan mati, selalu muncul dewa penolong yang tiba-tiba menembak penjahat yang sedang mengancam nyawa sang jagoan atau menyelamatkannya dari apa pun ancaman yang tengah dihadapi. Tenaga ekstra itulah yang membuat Don tak merasakan kelelahan meski selama empat jam harus berkonsentrasi mengemudikan jeep bututnya. Harapannya hanya satu: cepat sampai ke tujuan dan bisa tidur nyaman.

Hari berada di titik senja ketika jeep butut merambat pelan memasuki kota di pantura. Maghrib hampir menjelang. Sepanjang perjalanan, ponselnya nyaris tak berhenti menyalak. Kerabat dan keluarga menanyakan kabar mereka. Semua menampakkan kecemasan dan merasa lega ketika diberitahu mereka selamat. Kerabat dan keluarga – seluruhnya – menyarankan menyarankan mereka untuk sementara mengungsi dulu sampai ada kepastian situasi yang aman; sebuah saran yang juga menyisakan pertanyaan baru betapa relatifnya kadar sebuah situasi yang aman. Seperti apa yang dimaksud dengan situasi yang aman? Bagaimana wujudnya yang nyata? Absurd. Sebab yang dihadapi bukan kekacauan akibat huru-hara yang bisa dideteksi menjadi sebuah situasi yang aman jika aparat keamanan berhasil menghentikan huru-hara dan menangkapi para pelakunya, melainkan kemurkaan alam. Bangunan-bangunan yang hancur, korban-korban yang berjatuhan dan jumlahnya terus bertambah, perkampungan-perkampungan yang rata dengan tanah seperti kembali ke zaman purba, kegelapan yang mencekam, menjadi pemandangan baru yang selalu terpampang di depan mata. Belum lagi gempa susulan yang masih terus menggoyang. Lantas situasi semacam apa yang dianggap aman? Sulit menerjemahkannya. Namun Don selalu mengiyakan. Dengan sikap semacam itu, paling tidak membuat kerabat dan keluarga yang menghubunginya bisa bernafas lega dan tak ditelikung oleh kecemasan yang panjang.

Baru seperempat akhir perjalanan ponselnya kembali tenang. Tak ada suara, kecuali dua bocah manis yang kadang-kadang merengek minta minum atau merasa lapar – lagi – lantaran melihat penjual makanan yang mereka gemari meski sesungguhnya belum lewat satu jam mereka makan. Tapi itulah anak-anak.

Jarak yang tersisa tinggal 800 meter dari tujuan ketika lagi-lagi ponsel Don menjerit. Serta-merta Don mengangkatnya tanpa perlu melihat siapa yang menghubunginya.

“Don, segera ke kantor sekarang juga. Kita mau menerbitkan edisi khusus gempa untuk besok pagi,” Big Boss[19] langsung memberondongnya dengan kalimat yang cepat.

“Aduh, maaf, Boss, nggak bisa. Aku sudah jauh dari Jogja. Aku ada di pantura.”

“Kenapa bisa begitu? Saat ini situasi darurat, kenapa kamu malah pergi? Mana tanggung jawabmu sebagai pimpinan?” suara Big Boss terdengar marah.

“Sekali lagi maaf, Boss. Besok saya pasti sudah kembali ke Jogja.”

Tak ada jawaban lantaran telepon langsung diputus.

Sesaat Don terpekur. Ia merasa berada dalam posisi yang sangat tak berdaya. Di satu sisi ia ingin bersama anak buahnya berjuang demi korannya, di sisi yang lain ia ingin menyelamatkan keluarganya. Sudah sejak awal sesungguhnya ia menghadapi dilema itu. Sejak sebelum memutuskan mengungsi, ia harus mempertarungkan dua alasan untuk dua kepentingan yang berbeda. Nalurinya sebagai wartawan memang mengajaknya untuk tak kemana-mana dan memimpin barisan anak buahnya membagikan kabar terbaik untuk pembacanya. Namun nalurinya sebagai orangtua dan kepala keluarga juga menuntunnya untuk menyingkir jauh dari situ, menyelamatkan diri, menghindarkan kedua bocah manisnya dari sebuah kemungkinan trauma berkepanjangan. Keduanya punya hubungan erat berdasarkan hukum sebab-akibat. Jika ia tetap bertahan di Jogja, ia harus siap menghadapi keluarganya yang ketakutan; jika pergi menjauh, ia tak bisa menuangkan gagasan-gagasan dan konsep pemberitaan yang diinginkannya.

Jika kemudian Don memilih pergi, itu lantaran ia punya dua alasan. Pertama, keselamatan keluarga jauh lebih penting dibandingkan dengan hal-hal yang lain. Kedua, hari itu hari Sabtu yang berarti hari liburnya dan menjadi haknya penuh untuk tidak masuk kerja. Secara langsung maupun tidak, kedua hal itu jelas saling mendukung. Paling tidak bagi logikanya.

Keyakinan atas keputusan yang benar itulah yang membuat Don terlepas dari kebimbangan yang menjalar sesaat setelah menerima telepon dari Big Boss. Dan kebenaran memang selalu bersifat relatif. Bagi Don keputusan itu merupakan keputusan yang paling benar, namun bagi orang lain belum tentu. Sebab sebuah keputusan diambil bukan saja lantaran dominasi logika sebagai pertimbangan, melainkan juga diturutcampuri oleh intuisi. Dan intuisi itulah yang telah menyebabkan sebuah keputusan yang benar menjadi bersifat relatif. Tak ada kebenaran yang mutlak, kecuali kebenaran dari Yang Mahasegalanya.

Don sadar benar akan hal itu.

Dan ia yakin tak ada risiko yang akan dihadapi akibat keputusannya itu, meski barangkali keputusan itu bersifat intuitif.



[17] Saat Vito Corleone tertembak dan dirawat di rumah sakit, Santino Corleone yang biasa dipanggil Sonny Corleone memimpin sementara anak buah keluarga Corleone untuk menuntut balas. Michael yang oleh ayahnya diharapkan menjadi anak sekolahan dan berada di jalur yang normal hanya ditugasi menelepon Luca Brasi, tangan kanan Vito Corleone yang paling dipercaya dan saat itu tak bisa dihubungi. Michael diminta terus menelepon Luca setiap 15 menit. Dengan penuh kesabaran Michael melakukan tugas itu. Kesabaran atas tugas yang bagi orang lain di lingkup “Dinasti” Corleone dianggap sangat remeh dan tak berguna itu ternyata berbuah sangat manis. Dinasti Corleone pada akhirnya justru diteruskan oleh Michael yang tindakan dan pikirannya tak seceroboh Sonny – yang akhirnya juga harus tewas tertembak – dan mewarisi kebijakan dan ketenangan sang Godfather.

[18] Dalam ketidaksempurnaannya sebagai makhluk bernama manusia, Don merasa wajib mencari cara lain untuk memberikan pemahaman dasar-dasar agama bagi kedua anaknya. Don tak mampu membimbingnya secara pribadi, lantaran pemahamannya tentang agama sangat-sangat dangkal. Cita-citanya sederhana, kedua anaknya harus lebih memahami dan menghayati agama melebihi pemahaman dan penghayatannya. Don ingin, setidaknya hingga strata SMP – syukur-syukur bisa sampai SMA – kedua anaknya dididik di sekolah berlatar belakang agama sebagai fondasi awal bagi masa depan mereka.

[19] Don selalu memanggil pimpinan tertinggi di penerbitannya dengan sebutan Big Boss. Sebutan itu ia pakai lantaran tak punya kemungkinan lain. Memanggil hanya namanya, terasa aneh, sebab orang itu adalah pucuk pimpinan tertinggi. Memanggil dengan sebutan “Pak” atau “Mas” juga agak janggal di lidahnya lantaran mereka nyaris sebaya.

Tidak ada komentar: