Selasa, April 22, 2008

novel yang belum selesai

dan belum ada judul


(5)

KALAU mau jujur, meskipun tetap berpijak pada logika, namun sepanjang kariernya sebagai wartawan, Don lebih sering menggunakan intuisi. Baginya, intuisi jauh lebih jujur dibandingkan dengan logika yang kerap kali tak mampu membendung sebagian subyektivitas. Logika sepenuhnya karangan manusia, sedangkan intuisi murni anugerah. Meskipun kadang meleset, namun intuisi Don lebih sering tepat, seperti seorang sniper yang hanya dengan satu peluru butir peluru mampu membidik dengan mematikan sasarannya.[20] Bagi Don, intuisi bisa dilogikakan, sedangkan logika tak selalu mampu diintuisikan.

Digiring oleh intuisi, Don punya resep sederhana bagi seorang reporter yang bertugas di lapangan. Resep sederhana itu pun selalu ia praktekkan. Resepnya adalah: jangan tergantung pada alat perekam ketika wawancara. Tentu saja sebagaimana teori-teori yang lain, resep ini pun memilik perkecualian, khususnya ketika wawancara mengenai persoalan-persoalan riskan yang tak boleh ditafsirkan. Selebihnya, resep ini menjadi manjur, setidaknya bagi Don sendiri.

Bagi Don, alat rekam hanya membuat seorang wartawan malas dan menyebabkan sebuah liputan menjadi sangat kering. Dengan alat rekam, seorang wartawan terbiasa tak mendengarkan secara cermat penjelasan seorang narasumber dan sesampainya di kantor memindahkan hasil rekaman itu ke dalam tulisan, kata demi kata. Itu sebuah tulisan yang kering. Hasil liputan yang garing. Sebaliknya, dengan hanya mengandalkan catatan, seorang reporter dituntut untuk menyimak penjelasan narasumber secara intens dan penuh konsentrasi. Catatan-catatan yang ditulis di notes[21] hanyalah kerangka saja dari sebuah bangunan penjelasan yang sangat luas. Dan setiba di kantor, reporter dengan notes itu akan dipaksa berpikir dan merekonstruksi penjelasan demi penjelasan yang diberikan oleh seorang narasumber. Saat rekonstruksi itulah, kerap muncul gagasan untuk lebih memperkaya tulisannya dengan warna, antara lain seperti apa sikap narasumber ketika diwawancara, apakah ada yang iseng dan sebagainya dan seterusnya. Hasilnya, hasil liputan reporter semacam itu tak akan pernah terlihat garing.

Intuisi itu pulalah yang menjadi bekalnya ketika mendapat tugas sebagai redaktur pelaksana sekaligus manajer produksi yang secara otomatis bertanggung jawab penuh atas penggarapan dan isi materi halaman 1 korannya. Bagi profesional media, halaman 1 merupakan medan pertempuran yang sesungguhnya. Persaingan nilai berita antarsurat kabar terletak di materi dan isi berita-berita yang dimuat di halaman pertama yang menjadi wajah dan identitas sebuah media itu. Dan intuisi Don – yang lantas dilogikakan – selalu bisa dibanggakan. Hampir setiap hari, headline korannya selalu sama dengan koran-koran lain yang bertiras jauh lebih banyak dan punya jangkauan lebih nasional. Padahal koran tempat Don bekerja hanyalah sebuah koran kecil dengan tiras yang sangat terbatas dan jumlah wartawan yang juga terbatas. Bagi banyak orang yang bekerja di koran itu, kesamaan-kesamaan tersebut membuat mereka memiliki rasa percaya diri. Setidaknya, mereka masih punya kebanggaan di tengah-tengah jeritan nasib yang belum menemui terang dan standar ekonomi yang sangat terbelakang.

Dengan intuisinya, Don bertarung melawan koran-koran raksasa. Berbekal intuisinya Don menyuguhi pembaca yang lantaran kondisi perekonomiannya terpaksa hanya mampu mengeluarkan sedikit uang namun ingin tetap mendapatkan asupan berita yang istimewa. Don mampu menjangkau semua itu. Don bisa memberi pembaca nutrisi bacaan yang menunya tak kalah dibandingkan dengan bacaan yang dilahap orang-orang dengan duit berlebih sehingga bisa berlangganan koran-koran besar yang mahal. Don memanjakan pembacanya yang berada di limit strata kelas menengah.

Secara implisit maupun secara eksplisit, Don menjadi kebanggaan. Don menjadi pahlawan di tengah jepitan ketidakberdayaan. Don menjadi figur yang diidolakan meski keberadaannya tak sempurna: ah, manusia mana sih yang memiliki kesempurnaan?

Itu semua adalah hasil kerja keras. Don tak pernah berhitung dengan waktu. Don tak pernah berhitung dalam konteks untung dan rugi atas dedikasinya. Bahkan, Don nyaris menyerahkan sepenuhnya – perhatian, waktu, pikiran dan tenaga – pada profesinya. Ia selalu merasa punya beban hutang yang harus dibayar bagi profesi yang dipilihnya dengan kesadaran penuh itu. Meski profesi itu tak mampu memberinya kekayaan secara materi, namun Don bisa mendapatkan kepuasan batin yang tak terukur bahkan oleh tumpukan uang sekalipun. Kesadaran ini ia dapatkan kelak, setelah ia tak lagi menanamkan benihnya di koran yang membesarkan kemampuannya.

Meski selalu membantah jika disebut workaholic, namun Don tak pernah melepaskan pikirannya sesaat pun kepada hal lain di luar pekerjaan dan tanggung jawabnya. Selama bertanggung jawab menangani halaman 1, Don tak pernah mengambil cuti. Dalam kondisi sakit pun Don sering memaksa diri untuk masuk kerja. Biasanya ia baru minta izin ketika tubuhnya benar-benar sudah terkapar tak berdaya di atas tempat tidur. Selebihnya, jika masih bisa duduk, Don memilih menghabiskan waktu bersama tumpukan pekerjaan dan halaman demi halaman koran yang harus dikoreksinya sebelum ia setujui untuk naik cetak.

Kata “libur” hanya formalitas bagi Don. Benar-benar formalitas. Sebab, di saat genting, meskipun dalam posisi hari libur, Don tetap ke kantor. Saat peristiwa Bom Kuningan[22], Don langsung ke kantor setelah selesai mengajak kedua bocah manisnya jalan-jalan. Padahal secara formal, saat itu adalah hari liburnya. Namun tanggung jawabnya untuk memberi pembaca nutrisi bacaan yang mendekati sempurna, membuatnya tak perlu berhitung dengan tanggal maupun hari. Lebih dari itu, secara intuitif, ia butuh penyaluran kepuasan. Sebuah orgasme spiritual yang bisa didapatkan setiap pagi, ketika melihat korannya berdampingan dengan koran-koran lain dengan kualitas materi yang tak berbeda.

Namun orgasme spiritual itu harus ia tahan, manakala nyalinya berada di titik nadir. Ketika kecemasan dan ketakutan justru menguasai diri dan pikirannya. Ketika bencana hadir di saat yang sangat tak terduga. Di saat gempa mengguncang bumi tempatnya berpijak. Saat keluarga sangat membutuhkan keberadaannya – membutuhkan kebersamaannya – untuk mengusir ketidakberdayaan. Don memanfaatkan jatah hari liburnya untuk menghindarkan keluarganya dari nasib buruk dan tragedi. Sama sekali bukan bermaksud menghindar dari tugas dan kuwajiban sebagai salah satu pilar pimpinan di kantornya. Justru ia menjalankan tugas dan fungsi pimpinan dalam sebuah unit yang paling kecil, unit yang paling lekat jalinan emosionalnya: keluarga.

Toh hanya satu hari ia pergi. Hanya pada hari di saat ia mendapat jatah libur. Dan keesokan harinya, Don benar-benar sudah kembali ke Jogja. Keluarganya pun sudah diboyong kembali ke rumah kontrakannya, meski sempat dicegah lantaran situasi masih mencemaskan. Namun Don bersikukuh. Senin, dua bocah manisnya harus masuk sekolah. Itu harga mati. Sekolah tak boleh ditinggalkan. Don ingin mendidik anaknya bahwa sekolah harus menjadi candu yang jika tak dinikmatinya sehari maka tubuh menjadi sakaw. Sekolah harus menjadi hak, bukan kuwajiban.

Situasi yang asing sangat terasa di kantor. Big Boss nyaris tak mengacuhkan keberadaan Don. Sangat dingin. Bahkan melebihi perang dingin yang di masa lalu – sebelum runtuhnya “kekaisaran” komunis – antara dua negara adidaya, Amerika dan Uni Sovyet. Tentu saja itu sebuah iklim yang sangat tidak kondusif untuk sebuah produktivitas.

Don memilih tak berpikir picik. Ia membiarkan kebekuan itu menjadi selimut penghangat kerjanya. Baginya, yang paling penting dipikirkan adalah hasil penerbitan koran besok pagi. Bukan pertempuran batin dengan Big Boss-nya. Secara moral, ia memang merasa bersalah telah membiarkan anak buah dan teman selevelnya bersusah payah sendirian menerbitkan koran di tengah-tengah situasi yang serba darurat. Namun secara administratif, Don tak perlu minta maaf. Sebab tak ada peraturan yang ia langgar. Tak ada kesepakatan yang ia ingkari.

“Kalau kamu tak meminta maaf, persoalan pasti jadi panjang, meskipun kita sama-sama tahu, kamu tak bersalah dalam hal ini. Kamu tak masuk kerja karena memang itu hakmu di hari libur. Kalaupun kamu masuk kerja, hanya ucapan terima kasih yang bisa kami berikan,” Manajer PSDM[23], Wardaya, mencoba menengahi perselisihan antara Don dengan pucuk pimpinannya.

“Tapi apa salahku, Bung?” Don merasa tak habis mengerti dengan masalah yang dihadapinya.

“Tidak ada. Bahkan ketika aku diperintahkan memanggilmu untuk memberi peringatan, aku pun tak menemukan pasal yang kamu langgar. Satu-satunya kesalahan kita adalah, posisi kita yang hanya karyawan dan dia pimpinan tertinggi sekaligus pemilik media ini.”

“Jadi hanya karena subyektivitas itu aku harus minta maaf? Sungguh ironis. Kita bekerja di media massa. Setiap hari kita berteriak-teriak soal demokrasi, namun yang terjadi di tubuh kita sendiri borok yang mengedepankan kediktatoran. Sangat tidak masuk akal.”

“Tapi itu fakta dan kita tak punya kuasa apa-apa.”

Don memilih untuk tetap tidak mau meminta maaf. Persoalannya bukan terletak pada gengsi atau akan dianggap kalah atau harga dirinya akan lebur, namun pada prinsip yang dikukuhinya bahwa tidak ada kesalahan yang ia perbuat. Ia tetap bertanggung jawab atas pekerjaannya. Ia tetap mengedepankan sikap profesional sebagai seorang pekerja. Ia tetap menjunjung tinggi komitmennya pada profesi. Ia tetap membuat korannya tak terbelakang dibandingkan koran-koran yang lain.

Senin siang yang sangat gerah bagi Don. Senin yang menjengkelkan. Di rumah, istrinya tahu Don sedang menghadapi persoalan. Namun, sebagaimana yang telah berlangsung selama ini, Don tak pernah membagi persoalan apa pun yang terjadi di kantor ke rumah. Bagi Don, rumah adalah dunia lain yang tak ada sangkut pautnya dengan pekerjaan. Rumah adalah istana yang harus ia jaga keasriannya. Rumah menjadi tempat pelariannya yang paling nyaman. Membagi persoalan kantor ke rumah, sama artinya dengan membangun pekerjaan di dua tempat sekaligus. Don tak mau itu terjadi. Don tetap mempertahankan pemisahan yang jelas antara kepentingan rumah dengan kepentingan kantor. Kalaupun benang kusut pekerjaan terbawa ke rumah, hal itu hanya sebatas psikis saja. Secara fisik, sama sekali tidak.

Karena itulah ketika istrinya bertanya tentang persoalan yang ia hadapi, Don tetap tak mau berbagi. Don hanya berkilah yang dihadapinya hanya masalah kecil yang kelak pasti akan berakhir dengan sendirinya. Itu keyakinan Don. Ia tidak menyadari, bahwa kesenjangan yang kini ada hanya merupakan awal dari sebuah petaka lain yang kelak akan lebih mengancam dirinya. Petaka yang jauh lebih besar dari gempa bumi berskala 5.9 Skala Richter yang telah memorak-porandakan sebagian peradaban.



[20] Gambaran itu dihadirkan oleh Tom Berenger dalam film Sniper yang dibuat dalam tiga sequel, masing-masing Sniper, Sniper 2 dan Sniper 3.

[21] Buku kecil yang selalu dimiliki oleh sebuah media dan menjadi salah satu buku bawaan para reporter. Biasanya di buku itu juga tertulis nama medianya.

[22] Bom yang diledakkan oleh anggota Jamaah Islamiyah di Kedutaan Besar Australia di Jakarta pada tahun 2004.

[23] Pengembangan Sumber Daya Manusia. Di tempat lain sering juga disebut Manajer Personalia atau Manager HRD (Human Resource Department)..

Tidak ada komentar: