Selasa, April 22, 2008

novel yang belum selesai

dan belum ada judul


(1)

MASIH sangat pagi ketika ia selesai sholat Subuh. Udara panas menyergap dari segala penjuru mata angin. Sepagi itu, udara sudah terasa gerah. Ah, barangkali lantaran semalam ia sama sekali tak bisa memejamkan mata. Ada kegelisahan yang mengharu-biru, seperti sekawanan serigala yang kelaparan dan melihat musang bergerombol di belukar. Serigala yang serta merta menyergap dan tak menyisakan waktu bagi gerombolan musang untuk menyadari bahaya yang sudah ada di depan mata.

Ia pulang dari kantor jauh di tengah malam dan disambut istrinya yang membuka pintu sambil terkantuk-kantuk. Sebuah kegiatan rutin yang mesti dijalani saban malam, kecuali Sabtu malam saat ia boleh tak masuk kerja. Dua bocah manis sudah terlelap. Wajah damai yang mereka miliki menjadi oase bagi kelelahannya.

“Belum tidur juga?” istrinya membuyarkan kebekuan pada dinihari itu.

Ia menggeleng.

“Tak bisa tidur. Panas sekali malam ini.”

Tak ada percakapan lagi. Istrinya kembali menghampiri mimpi. Bukannya tak peduli, tapi memang bukan hal baru ketika mendapati ia masih termangu-mangu di dini hari. Kelelahan kerja malam barangkali membuat seseorang justru kesulitan tidur. Dan dunia jadi terbalik. Siang menjadi malam dan malam berubah jadi siang. Sebuah ritme yang kata orang tak normal. Namun itu konsekuensi dan risiko yang sangat ia sadari ketika 16 tahun lalu memutuskan untuk mengikuti kata hatinya, menentukan pilihan hidupnya: menjadi wartawan.

Ia memulainya dari strata paling awal, menjadi reporter. Ia ingat, tugas pertama yang ia jalani di saat masih pelatihan adalah meliput Jembatan Krasak yang saat itu terputus setelah sehari sebelumnya sebuah mobil tanki pengangkut bahan bakar premix terbakar dan meledak di atasnya. Ruas jembatan itu patah. Akibatnya, pelintas dari Magelang yang hendak ke Jogja maupun sebaliknya harus rela berjalan kaki melintasi sungai atau melalui jalan alternatif yang sempit dan sangat padat.

Tugasnya ketika itu meliput kegiatan para pelintas yang menggunakan jalan lain. Menghitung berapa jumlah kendaraan yang lewat di jalur alternatif itu dan menghitungnya di atas jembatan darurat yang sewaktu-waktu sangat mungkin runtuh lantaran beban yang terlalu sarat. Itu tugas pertama yang ia lakukan dan sampai sekarang masih membekas.

Selesai pendidikan yang hanya berlangsung sekitar dua minggu, ia ternyata mendapat tugas di biro Semarang. Inilah dilema pertama yang ia hadapi, pilihan yang bagi orang lain barangkali terasa absurd, namun tidak baginya. Jika ia tidak mau menerima tugas ke Semarang, ia harus mundur dari penerbitan itu dan berarti sebagian mimpinya harus terkubur bersamanya. Namun jika ia terima tugas di Semarang, ia akan kehilangan sebagian roh kehidupannya lantaran tak bisa lagi menonton teater. Ya, nonton teater. Absurd bukan? Namun itu sudah menjadi semacam makanan rohani yang harus ia telan setiap saat jika tak ingin keseimbangan jiwanya terganggu. Meskipun belakangan – di kurun 8 tahun terakhir – ia justru tak bisa lagi menikmati tontonan teater lantaran telah terbius oleh aroma kultur pop yang lebih modern dan menjanjikan ritme yang lebih dinamis.

Demi impian lamanya yang merasa tulis-menulis yang akan menjadi nafas kehidupannya, tugas ke Semarang pun ia terima. Padahal, sungguh, cita-citanya ingin menjadi wartawan budaya yang tugas liputannya seputar arts[1]. Berbekal nekad lantaran buta lokasi, ia dan seorang kawan seangkatan, Jos[2], berangkat ke ibukota Jawa Tengah itu, bersiap menghadapi udara yang sangat panas, yang sangat jauh berbeda dari Jogja. Selama sekitar dua minggu mereka harus tidur di kantor. Hari-harinya harus dimulai dan diakhiri di ruang yang penuh koran berserakan dan tumpukan undangan peliputan.

Ternyata hanya 20 hari ia di sana. Sebab pada hari ke-21 ia ditarik lagi ke Jogja untuk memperkuat barisan di markas besar. Betapa gembiranya mendengar kabar itu. Tanpa banyak kata, sore itu ia langsung mencegat bus dan kembali ke kampung halamannya yang kedua, menjemput separuh nafasnya yang tertinggal di sana: teater.

***

SEPERTI kuda yang baru dilepas dari karantina, ia merasakan udara yang sangat segar ketika hari pertama berangkat ke kantor di markas besar. Langkahnya terasa pasti dan ringan. Makanan jiwa selalu terhidang di depan mata. Apa lagi yang kurang? Tidak ada. Hidup terasa sangat lengkap, kendati secara fisik ia selalu sendirian. Jomblo justru membuat hidup terasa istimewa. Tak ada keharusan menengok seseorang setiap Sabtu malam justru menjadi kepuasan yang tiada banding. Banyak waktu untuk nonton teater, banyak waktu untuk mencurahkan perhatian pada pekerjaan. Harapan menjadi wartawan budaya yang ia idam-idamkan sungguh menggoda lidah untuk mencaploknya.

“Don, untuk sementara, sebelum penempatan, kamu non-bid dulu,” kata Pak Pram, Wakil Pemimpin Redaksi – yang memanggil namanya dengan inisial yang tertulis di tiap hasil liputannya, sedangkan nama lengkapnya adalah Sardono – ketika ia menghadap untuk melaporkan kedatangannya.

Non-bid. Itu sebutan di kantornya untuk wartawan non bidang, yang bertugas secara umum, tidak di bidang tertentu seperti kota, hukum dan kriminal, ekonomi, olahraga atau budaya. Wartawan non-bid, berarti harus siap bertugas kapan saja dan di mana saja untuk meliput bidang apa saja. Kenyataan yang sangat jauh meleset dari angan-angannya. Dan untuk sementara ia harus menahan diri, mengendalikan keinginannya agar tak menyeleweng dari sistem, agar ia tak memaksakan kehendak yang tentunya bisa berakibat fatal.

Salah satu tugas pertamanya sebagai wartawan non-bid adalah wawancara dengan salah seorang budayawan dari Jakarta. Tokoh yang baginya – sebagai wartawan ingusan – sangat besar dan berada di awang-awang. Di matanya, dia budayawan dan seniman yang hadir dengan segala kesempurnaan. Dan wawancara itu berlangsung hanya sesaat, sembari menuruni anak tangga di Tamansiswa. Budayawan itu memang hadir sebagai salah satu pembicara dalam peringatan Hari Kebangkitan Nasional kala itu.

Hasil wawancara sambil berjalan – yang berlangsung hanya dalam hitungan menit, sehingga tak terlampau banyak hal yang bisa digali – itu ternyata memiliki nilai. Setidaknya itu pemikiran subyektifnya sebagai wartawan yang masih sangat ingusan dan belum punya pengalaman bekerja sebagai wartawan harian, meski sebelumnya Don menjadi koresponden lepas sebuah media hiburan. Buktinya, berita itu lantas muncul 1 kolom di halaman 12[3] korannya. Sebuah hasil yang menggembirakan. Sebab halaman 12 menjadi etalase kedua setelah halaman 1. Dan selanjutnya banyak berita yang ia tulis dan menjadi konsumsi berbagai halaman di media itu. Ia pun mulai menemukan kenikmatan sebagai wartawan non-bid.

Meski sudah mulai bisa beradaptasi dengan tugas itu, namun keinginan menjadi wartawan budaya masih terus mengaduk-aduk isi kepalanya. Ia mencoba melobi Laras, redaktur halaman budaya. Laras tertarik – apalagi latar belakang pendidikan Don juga mendukung untuk meliput aktivitas-aktivitas kesenian yang menjadi denyut nadi kehidupan Jogja – namun Laras harus tunduk pada sistem. Laras tak punya hak untuk memilih wartawan yang bernaung di bawah kendalinya. Redaktur liputan budaya, Giyarso, juga ia dekati. Dan Giyarso berjanji akan mengusahakannya.

Nyaris tak ada kerja – lantaran tugas liputan sudah dibagi untuk wartawan-wartawan yang punya bidang tertentu – Don pun nekad mencari jejak sendiri. Don nekad meliput kegiatan budaya yang bertebaran dan hanya sedikit yang menyentuhnya. Kendati tanpa penugasan dari redaktur, setiap hari Don meliput aktivitas kesenian yang pure art di banyak tempat; mulai dari pentas teater, pentas tari, maupun ketoprak. Redaktur halaman budaya yang diserahi hasil liputannya tentu saja senang, karena punya tambahan tenaga untuk bidang liputan yang kurang diminati oleh orang lain itu.

Dan kehidupan memang berjalan seperti kereta yang melaju di atas rel. Berjalan sendirinya tanpa terganggu oleh riuh rendah dan lalu lalang jenis kendaraan yang lain. Tanpa keputusan resmi dari pimpinan, Don menjadi wartawan desk budaya. Sempurnalah sebagian cita-cita dan harapannya selama ini. Maka ia pun bisa sangat kenyang menyantap makanan rohaninya dengan lahap.

Ritme kehidupannya mulai berubah ketika Giyarso yang saat itu menjadi redaktur budaya harus pindah tugas ke Jakarta. Don yang selama ini kerap menggantikan tugasnya untuk sementara jika Giyarso sedang cuti atau libur, ditugaskan untuk menggantikan posisinya sebagai redaktur budaya. Maka, kehidupan malam pun mulai menjadi bagian dari kehidupannya. Kehidupan malam yang berarti tugas mulai sore hingga malam, saat deadline tiba. Ritme hidupnya pun berubah: siang ia jadikan malam dan malam ia jadikan siang. Kelelahan kerja malam, ia selalu baru bisa memicingkan mata setelah matahari terbit, di saat yang lain mulai berangkat bekerja. Sebuah ritme yang bagi orang lain dianggap abnormal namun baginya sangat indah.

Pola kehidupan semacam itu berlangsung selama bertahun-tahun. Apalagi ketika perusahaan yang sudah berganti manajemen memercayai Don untuk menduduki jabatan sebagai redaktur pelaksana. Semakin sempurnalah kehidupan kelelawarnya. Jika ketika masih menjadi redaktur ia bisa pulang sekitar jam 21:00, maka sejak menjadi redaktur pelaksana jadwal kepulangannya harus diundur, setidaknya hingga jam 01:00 dini hari. Dengan beban tugas yang makin berat, kelelahan yang ia rasakan pun tentu saja semakin bertambah. Tetapi tetap saja ia sering tak mampu memicingkan mata di malam hari, atau tepatnya dini hari.

Beruntung, istrinya sangat memahami hal itu. Istrinya tak pernah mempersoalkan malam-malamnya selalu dihiasi dengan kehidupan sendirian, hanya ditemani dua bocah manis. Dan di tengah malam, ketika sedang nikmat-nikmatnya mimpi, harus siap mendengar ketukan pintu atau jendela dan selanjutnya membukakan pintu.

Dalam kondisi lelah, adalah kenikmatan yang luar biasa melihat dua bocah manis yang terlelap. Mereka nyaris tak pernah ditemani ayahnya untuk belajar atau sekadar bercanda. Siang hari, ketika mereka pulang sekolah, ayahnya sedang terkapar tak berdaya di tempat tidur, merajut mimpim-mimpi yang tersisa. Sedangkan malam hari, saat mereka harus tidur, mereka hanya ditemani sang ibu, sementara ayahnya harus membelai-belai tuts komputer dan menatap manja monitor di depannya.

Lagi-lagi sebuah pola hidup yang pasti menurut orang lain abnormal. Namun Don menikmatinya. Dan tak ada protes yang keluar dari mulut dua bocah manis yang setiap Sabtu malam selalu berebut minta dikeloni. Bagi dua bocah itu, Sabtu malam menjadi malam yang sangat istimewa. Kerinduan mereka untuk bisa tidur ditemani ayahnya terwujud malam itu. Setelah mengantar tidur kedua bocah manis itu, Don pun belum tentu langsung tidur. Jika penyakit sulit tidur malamnya kambuh, meski libur dari kerja, tetap saja kedua matanya terasa sulit dipejamkan. Kalau sudah begitu, jika tak bercengkerama dengan komputer, Don lebih suka menonton televisi.

Biasanya, jika semalaman tak tidur dan istrinya belum bangun lantaran kelelahan, Don membangunkan istrinya jam 05:00 untuk memasak air buat mandi kedua bocah manis itu. Ritual selanjutnya adalah mengantarkan kedua bocah manis itu ke sekolah. Dan sepulang mengantar sekolah, Don segera menjumpai dewi mimpi. Don menjemputnya dengan kepulasan yang memuaskan.

Namun suatu hari, ritual rutin selama bertahun-tahun itu harus berubah seketika. Perubahan yang sama sekali tak ingin dilakukannya. Perubahan yang ia lakukan karena terpaksa. Sangat terpaksa.



[1] Secara umum selalu ada dikotomi arts dan entertainment, yang kerap diterjemahkan menjadi seni dan hiburan. Dalam desk budaya juga pembagian itu terjadi. Ada wartawan yang meliput entertainment, yakni aktivitas-aktivitas hiburan atau seni pop dan ada yang meliput arts yang meliputi aktivitas-aktivitas seni serius semacam teater, tari, pameran lukisan, pameran patung dan sebagainya.

[2] Sebagian wartawan media cetak umum dipanggil bukan dengan nama lengkap atau nama panggilannya, melainkan dengan nama inisial yang tercantum dalam hasil liputannya, seperti: gea, ndo, yup, yul dan sebagainya. Biasanya itu terjadi secara otomatis ketika inisialnya bisa menjadi kata ganti kedua atau kata ganti ketiga. Sedangkan sebagian yang lain, tetap dipanggil dengan nama panggilan mereka sehari-hari.

[3] Saat itu, di tahun 1990-an, koran daerah kebanyakan terbit 12 halaman dengan format halaman 1 dan 12 berwarna sedangkan halaman dalam hitam putih. Halaman 1 merupakan etalasi dan halaman 12 menjadi etalase kedua karena jika dibentangkan atau dipajang di koran dinding, kedua halaman itu menyatu dan satu bentangan.

Tidak ada komentar: