Selasa, April 22, 2008

novel yang belum selesai

dan belum ada judul


(3)

RUMAH kontrakan Don termasuk berada di tengah-tengah gang. Tiga rumah ke arah barat, terdapat mulut gang yang bermuara pada jalan kampung dan dua rumah ke arah timur ada pertigaan. Meski rumah kontrakan Don di pinggir jalan, namun hanya jalan sebuah gang yang tak terlalu lebar. Jika ada dua buah mobil berpapasan, maka salah satunya harus mengalah. Kalau tak mundur kembali ke ke arah barat ke mulut gang, maka harus mepet sangat ke pinggir yang berarti juga mepet ke tembok pembatas rumah. Atau pilihan ketiga, mundur ke arah timur, ke sudut pertigaan yang posisinya lebih lebar. Di sudut pertigaan itulah Don memarkir jeep bututnya setelah kedua bocah manis dan istrinya turun di depan rumah. Don sengaja parkir di situ sebagai wujud kesiagaannya jika tiba-tiba gempa terjadi lagi dan harus segera menyelamatkan diri. Sebagai kepala keluarga, Don merasa harus berpikir praktis namun efisien dalam situasi darurat, sebagaimana yang dilakukan oleh “Don-Don”[11] yang lain yang sangat diidolakannya.

“Masak nggak, Yah?” suara istrinya memecah keheningan pagi itu.

Hari memang belum beranjak dari pagi, meski kedua bocah manis itu sudah pulang dari sekolah. Hari itu, sekolah memutuskan untuk memulangkan murid-muridnya jauh lebih awal. Bahkan karena menganggap situasi masih rawan, anak-anak hanya diminta berkumpul di halaman sekolah untuk mendengarkan pengumuman dari kepala sekolah yang isinya untuk sementara sekolah diliburkan hari itu – atau istilah resmi di sekolah itu biasanya menyebut anak-anak boleh belajar di rumah – dan masuk kembali hari Senin.

“Nggak usah, Mih. Nanti beli aja. Lagi pula nggak bisa masak nasi kan?”

Istrinya mengangguk.

Selanjutnya bengong. Mereka hanya duduk di sofa di ruang tamu sambil merenungkan apa yang baru saja terjadi. Tak ada yang bisa mereka lakukan. Keinginan menonton televisi harus mereka kubur lantaran aliran listrik terputus sejak gempa menjelang pukul 06:00 pagi tadi terjadi. Aliran listrik terputus itu pulalah yang menyebabkan mereka tak bisa menanak nasi dengan rice cooker.

Don mulai mereka-reka apa yang sebenarnya tengah terjadi. Beberapa minggu terakhir ia menurunkan berita aktivitas Gunung Merapi yang mulai meningkat di halaman 1 korannya. Apalagi saat itu status Gunung Merapi sudah sampai pada tahap Awas Merapi.[12] Aktivitas yang terus meningkat menyebabkan gunung di perbatasan Jawa Tengah dan DIY itu bisa sewaktu-waktu meletus. Penduduk yang tinggal dalam radius 10 kilometer dari puncak Merapi dievakuasi ke tempat-tempat pengungsian yang aman. Awan panas terus meluncur, lava pijar pun berguguran. Aktivitas gempa fase banyak pun terjadi puluhan kali.

Karenanya, ketika pagi tadi, bumi benar-benar berguncang, semua orang – termasuk Don – yakin, Gunung Merapi telah meletus. Aktivitas salah satu gunung berapi yang sangat aktif itu sudah mencapai titik kulminasi, meskipun Mbah Maridjan juga tak kalah yakin bahwa gunung yang ditungguinya itu masih dalam kondisi aman sehingga ia pun tetap ngotot tak mau dievakuasi.[13] Dan untuk sementara, orang-orang mulai lega karena kecemasan mereka selama ini menunggu kepastian kabar Gunung Merapi sudah terjawab. Kecemasan kalau-kalau letusan Gunung Merapi yang diperkirakan dahsyat itu akan menenggelamkan kampung mereka atau bahkan mematahkan Pulau Jawa, seperti desas-desus yang santer terdengar beberapa hari terakhir. Ternyata, itu cuma desas-desus belaka. Sebab faktanya, kendati Gunung Merapi telah meletus, namun tak ada kampung yang tenggelam. Setidaknya kampung yang ditempati Don. Dan setidaknya itulah pikiran yang menguap ke permukaan orang-orang di kampung itu.

Wajah-wajah para tetangga yang masih banyak berkerumun di luar rumah untuk saling berbagi cerita yang tak habis-habisnya – kadang-kadang juga cerita yang sama diulang-ulang untuk pendengar yang berbeda – mulai terlihat ceria. Beban kecemasan mereka selama ini seperti sudah tertumpah habis. Ludes hingga nihil sama sekali.

Namun ternyata itu tak berlangsung lama. Sebab kabar baru mulai tersebar. Tsunami datang. Air dari laut selatan[14] sudah sampai ke wilayah Bantul. Artinya, tinggal menghitung menit untuk air meraih kampung mereka yang hanya berjarak sekitar 7 km dari Bantul. Para tetangga Don pun mulai berlarian. Wajah-wajah ceria yang untuk sementara bermukim, kini sudah hilang, berganti dengan wajah-wajah yang kembali penuh kecemasan. Orang-orang mengendari sepedamotor sambil memboyong anak dan istrinya. Sebagian yang lain pilih berlari karena memang tak punya kendaraan untuk mereka tumpangi.

Don yang masih di dalam rumah keheranan. Ia pun keluar.

“Tsunami, Pak… tsunami. Cepat menyingkir,” orang-orang mencoba memberitahu Don tentang situasi yang tengah berlangsung.

Don masih terdiam. Istrinya yang lantas menyadarkannya.

“Cepat, Yah. Orang-orang sudah mulai menyingkir,” istrinya mulai gugup.

Don segera mengambil jeep butut yang sudah disiapkannya dan segera tancap gas. Tak ada pilihan lain baginya dan bagi orang-orang kecuali menyingkir ke arah utara, menjauh dari laut. Bayangan tentang situasi di Aceh pun terbayang di benak Don dan semua orang. Tsunami yang meluluh-lantakkan sebuah kota hanya dalam hitungan menit. Modernisasi sebuah kota yang dibangun puluhan tahun, runtuh hanya dalam hitungan jari tangan.

Kengerian, kecemasan, ketakutan pun menggelayuti langkah semua orang. Mobil-mobil bak terbuka yang sarat penumpang, truk-truk yang mengangkut banyak orang, sepedamotor, sepeda onthel[15] memadati jalan-jalan kota. Ribuan orang yang berlari menambah jalanan semakin sulit dilalui. Jika tsunami benar-benar datang, niscaya tak ada satu pun yang bisa menghirup udara lagi saat itu. Jangankan berlari kencang, sekadar bergerak saja sudah susah. Jalanan macet total. Bahkan kemacetan tak hanya terjadi di jalanan kota, namun juga di jalanan seputar ring road yang mengitari Jogja. Mereka seperti sepasukan semut yang bergerak bersama menuju sebuah bangkai untuk selanjutnya bersama-sama menggotong bangkai itu ke sarang.

Don terjebak. Jeep bututnya mulai overheat[16]. Namun Don memaksanya untuk terus bergerak. Tak ada waktu untuk berpikir atau istirahat untuk mendinginkan mesin. Meski sesungguhnya ia pun menghadapi dilema. Berjalan ke arah utara berarti menjemput wilayah Gunung Merapi yang bukan tidak mungkin juga berarti mendekat ke arah bahaya yang lain. Lari dari tsunami namun mendekat ke letusan gunung. Don benar-benar terjerembab dalam pepatah usang lepas dari mulut buaya masuk ke mulut harimau.

Di pinggir-pinggir jalan – terutama di perempatan – sebagian orang mulai mengacung-acungkan papan. Mereka berusaha memberitahu bahwa kabar tsunami itu tidak benar. Kabar tentang tsunami itu hanya isu, hanya kabar angin, hanya desas-desus yang tak perlu didengarkan. Orang-orang diminta kembali. Bahkan polisi mulai mengeluarkan megaphone untuk meminta orang-orang kembali ke rumah. Namun orang-orang seperti tak peduli. Bukan hanya lebih memedulikan keselamatan jiwa masing-masing, juga lantaran suara megaphone itu tenggelam di balik suara raungan mobil dan motor yang bergerak sangat pelan.

Don sebetulnya sudah melihat papan yang diacung-acungkan orang di tengah perempatan. Namun kecemasannya menutupi logika. Prinsipnya sebagai orang Jawa yang secara naluriah menuntunnya. Prinsip tentang apa salahnya mencoba, toh tak ada ruginya yang diterjemahkan menjadi apa salahnya ikut orang-orang menyingkir ke utara – meski barangkali benar, tsunami itu tak ada – toh tak ada ruginya. Rumah sudah dikunci dan semua orang pasti juga berlarian. Tak ada orang yang berpikir mau mencuri. Semua pasti berpikir sama: menyelamatkan diri daripada mati konyol.

Don mulai bernafas lega ketika jeep bututnya sudah merangkak sampai ke ring road utara. Namun di situ ia mulai gelisah. Ia kehilangan arah. Tak tahu mau kemana.

“Nggak ada tsunami ya, Pak?” Don mencoba memastikan kabar itu kepada seorang polisi yang sangat sibuk mengatur lalu lintas.

“Nggak ada. Silakan jalan.”

Don lega. Ia punya kepastian sekarang: pulang ke rumah. Cita-citanya sangat sederhana, ia ingin tidur. Semalaman tak tidur ditambah kegiatan tambahan yang penuh kecemasan sejak pagi tadi, membuatnya ingin segera menjemput mimpi.

“Yah… lapar…” si kecil mulai merengek.

Don pun menghentikan jeep butut kebanggannya itu di sebuah rumah makan Padang. Tak ada salahnya istirahat sejenak. Sebab diam-diam, perutnya juga menuntut minta diisi. Dan di tempat itulah, lewat televisi Don menyaksikan pemandangan yang sangat jauh di luar dugaannya selama dua hingga tiga jam terakhir. Gempa yang terjadi ternyata berkekuatan 5.9 Skala Richter. Di depan matanya tertayang rumah-rumah yang roboh, orang-orang yang tertimbun di bawahnya, kampung yang rata dengan tanah, orang-orang yang digotong beramai-ramai sambil merintih-rintih, jumlah korban yang terus bertambah setiap menit: mulai dari puluhan, hingga ratusan dan belum sampai suapan nasi terakhir, jumlah korban sudah mencapai lebih dari 1.000 orang.

Don terpana. Ia tak percaya. Gempa yang turut dirasakannya pagi tadi telah meluluh-lantakkan hampir separuh wilayah Jogja, terutama di bagian selatan. Nyalinya mulai kecut. Hatinya mulai gamang. Pikirannya terbang ke ratusan kilometer dari tempat duduknya. Kecemasan yang sama tentu dirasakan oleh ibunya dan kedua orangtua istrinya. Apalagi sambungan telepon terganggu. Telepon yang masuk maupun keluar seperti tersumbat. Don yakin, orang-orang yang dicintai dan mencintainya itu pun pasti sedang gelisah menunggu kabar darinya.

Don gamang. Nasi yang disuapnya jadi terasa hambar, kendati yang disantap usus sapi kegemarannya. Berkali-kali mulutnya ternganga melihat pemadangan memilukan di layer kaca. Ketika untuk kesekian puluh kalinya gempa susulan terjadi, Don spontan menggandeng dua bocah manisnya keluar dari rumah makan. Lagi-lagi kecemasan mengalir di denyut nadi semua orang yang berada di rumah makan. Dua bocah manis itu pun mulai terlihat cemas. Tayangan televisi itu ternyata ikut menciutkan nyali keduanya. Si kecil pun tampak ketakutan.

Don lantas membuat keputusan seketika: mengungsi!



[11] Para kepala keluarga mafia Sicilia yang biasanya berpikir efisien namun sangat praktis. Don alias Wardono sangat menyukai tokoh-tokoh mafia semacam itu dan tokoh yang dikaguminya – meskipun fiktif – adalah Don Corleone: baik Vito maupun Michael Corleone yang dikenalnya lewat trilogi The Godfather. Karena kekagumannya itulah, ia lebih suka menggunakan inisial Don di korannya dibandingkan dengan inisial lain seperti Sar atau Ono yang juga bisa mencerminkan namanya..

[12] Status tertinggi aktivitas sebuah gunung. Saat itu status Awas Merapi diberlakukan mulai 13 Mei 2006.

[13] Mbah Maridjan adalah jurukunci Gunung Merapi. Ia masih yakin gunung itu tak meletus. Bahkan pada tanggal 19 Mei 2006 mulai pukul 23:00, di tengah guguran lava pijar, Mbah Maridjan berkeliling Pedukuhan Kinahrejo, Cangkringan, bersama puluhan warga lainnya. Dengan menggunakan baju tradisional Jawa, mereka mengelilingi desa tanpa bersuara. Kegiatan itu untuk keselamatan warga dari Merapi.

[14] Samudera Indonesia

[15] Sepeda yang dikayuh. Onthel (bhs Jawa) berarti kayuh.

[16] Kondisi mesin kendaraan yang sudah sangat panas.

Tidak ada komentar: