Selasa, April 22, 2008

novel yang belum selesai

dan belum ada judul


(2)

JEEP butut 4x4[4] warna coklat yang selama ini setia menjadi pengganti langkah kakinya masih bertengger tenteram di kandangnya. Don memang lebih suka menyebutnya kandang, bukan garasi, lantaran kondisinya lebih mirip kandang. Hanya sepetak tanah di samping kanan rumah yang berbatasan dengan tembok rumah tetangga. Di sela-sela dua rumah itulah ia beri atap sederhana yang disangga enam batang bambu. Tak layak jika disebut sebagai sebuah garasi. Hanya kandang untuk sekadar berteduh dari hujan dan panas.

Jam masih menunjukkan pukul 05:30. Di dapur, ceret berisi air sedang dijarang di atas kompor. Di sumur, istrinya sedang mencuci piring dan gelas, sisa semalam. Dua bocah manis masih belum terjaga. Untuk mengisi waktu, Don menuangkan air dari keran ke dalam botol bekas air mineral untuk mengisi radiator. Sebuah kegiatan rutin tiap pagi yang ia lakukan sebelum mengantar dua bocah manis ke sekolah.

Belum genap setengah air di botol tertuang, Don mendengar bunyi gemuruh yang asing. Seperti suara pesawat tempur yang meraung-raung di awang-awang. Ia memang kerap mendengar suara pesawat tempur karena lokasi rumah yang tak terlalu jauh dari pangkalan udara Adisutjipto. Namun yang aneh, tak biasanya pesawat menyalak-salak sepagi itu. Biasanya siang atau sore hari baru terdengar suara burung besi-burung besi yang seolah mengabarkan siap bertempur itu. Lebih aneh lagi ketika kawat listrik di atas rumah juga bergoyang-goyang. Jeep bututnya pun tak mau tinggal diam, ikut bergerak maju-mundur. Sesaat terbengong, namun sesaat sesudahnya Don tersadar.

Lindu… lindu[5]… Allahu Akbar… Allahu akbar…!

Mulai terdengar teriakan yang bercampur dengan aroma ketakutan memecah pagi yang hanya lima menit menjelang pukul 06:00.

“Mih[6], gempa, Mih… Gempa…!”

Don pun meneriaki istrinya yang rupanya juga belum sadar bumi yang dipijaknya bergolak keras. Istrinya segera berlari ke luar rumah. Suara gemuruh semakin keras. Kini tak hanya kawat listrik dan jeep butut yang ia lihat bergerak. Kesadaran yang mulai sempurna membuat Don bisa melihat rumah-rumah juga bergoyang-goyang. Atap terasa mau runtuh ketika Don masuk rumah untuk membopong bocah-bocah manisnya. Si besar ia bangunkan dan langsung bangkit. Si kecil ia gendong karena kesadarannya belum pulih dari tidur semalam. Don sempat terjatuh saat hendak menggendongnya. Don memerintahkan si besar segera keluar karena gemuruh di atas semakin keras. Sewaktu-waktu atap bisa runtuh dan menimpa siapa pun yang bersemayam di bawahnya. Don berjibaku dengan waktu. Don bertarung dengan nasib. Satu pikirannya, jika atap runtuh, ia akan langsung tiarap dan meletakkan si kecil di bawahnya. Biarlah atap yang runtuh itu lebih dulu menimpa tubuhnya daripada harus bertabrakan dengan tubuh si kecil yang masih ringkih.

Berpacu dengan waktu, Don langsung membawa si kecil keluar rumah. Saat itulah istrinya tersadar.

“Yah, kompor belum kumatikan.”

Don terbengong. Sangat berbahaya. Jika kompor meledak karena goncangan yang begitu dahsyat, rumah bisa terbakar. Nekad, Don pun kembali memasuki rumah, seperti memasuki tambang bawah tanah yang nyaris runtuh. Beberapa barang di rumah mulai berjatuhan, bergulingan. Piala di atas rak buku terlempar. Lampu emergency terjatuh. Piring-piring di rak berdenting seperti bersorak, menyorakinya untuk segera menyelamatkan diri. Keluar dan berharap rumah tak roboh. Don mempercepat langkah untuk sampai ke dapur, yang kondisi bangunannya lebih rapuh dibandingkan dengan rumah utama. Don segera mematikan kompor dan tanpa pikir panjang segera keluar.

Orang-orang mulai berlarian menjauh dari rumah. Mereka menuju ke sawah di sebelah barat kampung. Tak perlu berpikir rumah yang belum terkunci. Saat itu semua orang hanya berpikir satu hal: nyawa lebih penting dari tumpukan harta. Sebuah kesadaran khas manusia yang selalu pasrah manakala sampai pada jalan buntu nasib.

Don, istri dan kedua bocah mansinya tak ikut berlari. Hampir satu menit Don melihat rumah kontrakannya menari-nari, jeep butut mereka maju-mundur dan kawat-kawat listrik berdesing-desing. “Jika ini akhir dari kehidupan, biarlah aku memeluk erat anak dan istriku. Setidaknya aku bisa menjemput akhir kehidupan itu dengan senyuman…”

Dan senyuman itulah yang keluar dari mulut kedua bocah manisnya. Mereka tak merasa takut. Barangkali lantaran dalam dunia mereka yang baru – dunia yang sangat berbeda dari dunia rahim yang hangat dan damai – baru sekali ini mereka melihat hal itu. Kata “gempa” belum termaktub dalam kamus pikiran mereka. Kalaupun pernah mendengar kata itu, paling-paling dari pelajaran Sains yang mereka dapat di sekolah. Tapi itu pun cuma sebatas teori: bahwa gempa bumi adalah getaran yang terjadi di permukaan bumi. Gempa bumi biasa disebabkan oleh pergerakan kerak bumi atau lempeng bumi. Gempa bumi terbagi dua yakni gempa tektonik dan gempa vulkanik. Gempa tektonik disebabkan oleh pelepasan tenaga yang terjadi karena pergeseran lempengan plat tektonik, sedangkan gempa vulkanik terjadi karena ada aktivitas memuncak di gunung berapi.[7] Hanya itu yang mereka tahu. Sebab tak pernah bisa diberikan contoh secara konkret saat pelajaran berlangsung. Dan lantaran pengetahuan mereka sebatas teori, di benak mereka tentu tak terbayang bahwa gempa bumi bisa menyebabkan kehidupan berakhir. Yang mereka tahu, ada pemandangan menarik saat rumah bergoyang-goyang seperti menari, jeep butut maju mundur seperti sedang poco-poco dan kawat listrik berdesing-desing seperti tali yang diputar-putar untuk bermain lompat tali. Wajar jika mereka tertawa-tawa. Tak ada kecemasan.

Hampir satu menit bumi bergejolak. Saat semuanya terhenti, ada nafas panjang yang mereka hirup bersama-sama. Lega rasanya sudah berhasil melewati masa kritis dan berakhir bahagia karena nyawa masih bersemayam di badan. Rasanya seperti baru melintasi sebuah goa panjang yang gelap dan basah dengan aneka satwa yang sewaktu-waktu bisa menyerang dan melumat habis-habisan. Begitu sampai di ujung dan melihat cahaya, seperti melihat kehidupan yang kembali terpapar di depan mata.

“Ya Allah… tolong… tolong… tolong…!”

Suara jeritan tetangga sebelah rumah yang sudah renta tiba-tiba memecah kesunyian sesaat. Jeritannya menyadarkan mereka – warga hampir sekampung – bahwa sangat mungkin gempa yang terjadi semenit lalu menimbulkan korban. Jangan-jangan salah satu korbannya adalah tetangga mereka yang sehari-hari berjualan makanan yang setiap pagi didatangi istri Don untuk sarapan pagi kedua bocah manisnya. Maka, orang-orang pun segera berlari menuju ke arah suara. Alhamdulillah, ternyata tetangga itu tak terluka sedikit pun. Ia berteriak-teriak lantaran bangunan dapurnya yang sangat sederhana dan hanya disangga kayu-kayu yang mulai lapuk itu roboh. Saat itu ia tengah memasak menyiapkan dagangan. Akibatnya, api kecil mulai terlihat merambat di antara tumpukan kayu yang awalnya adalah atap dan penyangga dapur.

Don dan beberapa tetangga pun segera mengangkut pasir – kebetulan di depan rumahnya banyak pasir di karung lantaran anaknya sedang merenovasi rumah – dan menyiramkannya ke arah api. Mereka kembali berlomba dengan waktu. Berkarung-karung pasir mereka timbunkan ke arah api agar tak merembet dan membakar rumah. Tatkala api sudah tak lagi menampakkan lidahnya, mereka pun bernafas lega.

Alhamdulillah, api sudah padam, Mbah. Beruntung cuma dapur yang roboh. Allah masih melindungi kita[8],” anak lelaki pemilik rumah yang masih terlihat shock itu mencoba menenangkan ibunya.

Si ibu hanya mengangguk. Namun semua orang yakin, ia masih sangat terkejut. Tatapannya masih terlihat kosong. Ia seperti masih berada di batas kesadaran atas apa yang baru saja menimpanya.

Don segera keluar dari rumah itu dan kembali menengok istri dan kedua bocah manisnya. Mereka belum masuk ke rumah. Bukannya tak berani, namun masih berkumpul dengan tetangga di jalanan kampung, saling bercerita dan berbicara tentang kejadian yang sama-sama dialami. Itulah hebatnya orang Jawa, meski sama-sama mengalami peristiwa yang sama, namun tetap saja ada cerita yang bisa dibagi. Cerita tentang pengalaman yang baru saja dialami: tentang posisinya yang sedang mandi ketika gempa terjadi sehingga terpaksa keluar dari kamar mandi hanya berbalut handuk, tentang kompor yang belum sempat dimatikan, tentang terjatuh dari tempat tidur lantaran belum bangun saat bumi murka dan sebagainya dan seterusnya. Saat bercerita semacam itu, biasanya tidak ada ketakutan atau kecemasan. Yang ada justru tertawa-tawa mengingat kejadian-kejadian lucu yang sesungguhnya bisa saja menyebabkan nyawa mereka terlepas dari raga. Sungguh ironis. Namun itulah hidup. Itulah manusia Jawa yang selalu bisa mensyukuri nasib lewat caranya sendiri.











DON dan istrinya mengantar dua bocah manisnya ke sekolah pukul 07:15, terlambat 15 menit dari jadwal masuk sekolah. Don yakin para guru bisa memaklumi, lantaran musibah baru saja terjadi. Musibah yang tentu saja tak pernah direncanakan kedatangannya. Dan pagi itu pun terpaksa dua bocah manis itu mandi dengan air dingin. Don memberi pengertian ke mereka tentang gempa bumi, tentang musibah yang beruntung tidak mencabut kehidupan mereka. Kedua bocah menurut. Tak protes. Barangkali hati mereka juga tergerak dan tersadar atas apa yang baru saja mereka alami bersama.

Don sengaja bawa tustel untuk mengabadikan kemungkinan adanya rumah atau bangunan roboh akibat gempa itu. Naluri kewartawanan – ceile – memberinya isyarat untuk membawa benda itu. Siapa tahu bermanfaat. Mereka masih tertawa-tawa sepanjang jalan. Don lihat salah satu sudut pojok beteng[9] roboh. Namun hanya bangunan semacam kubahnya saja yang runtuh. Dan selebihnya, rumah-rumah masih berdiri megah. Sungguh dalam benaknya saat itu, ternyata gempa bumi yang baru saja terjadi hanya gempa dalam skala kecil. Apalagi Don melihat di kampungnya juga tak satu pun bangunan rumah yang roboh. Hanya ada satu dapur yang runtuh, itu pun lantaran kondisi bangunannya yang sudah sangat rapuh, bukan lantaran kerasnya goncangan gempa.

Sepanjang perjalanan menuju ke sekolah, Don juga melihat beberapa mobil bak terbuka membawa beberapa orang dalam keadaan terluka dan sangat kotor: penuh debu. Dalam pikiran Don, mereka adalah satu atau dua orang pekerja bangunan yang mungkin saja menjadi korban gempa lantaran tembok yang mereka dirikan belum sempurna sehingga roboh. Sungguh, Don tak sadar, bahwa hari itu masih pagi – bahkan sangat pagi – bagi seorang pekerja bangunan untuk mulai kegiatannya.

Di sekolah, Don sengaja tak meninggalkan dua bocah manisnya seperti biasa. Ia dan istrinya sepakat memutuskan untuk menunggu. Mereka cemas, jangan-jangan gempa terjadi lagi dan kedua bocah manis itu ketakutan. Di seberang sekolah, di depan sebuah pintu kecil, Don melihat dua buah bed lengkap dengan infus dan orang yang terbaring tak berdaya di atasnya, masing-masing ditemani seorang perawat. Mereka pasien Rumah Sakit PKU Muhammadiyah[10] yang pasti terpaksa dikeluarkan sementara untuk mengantisipasi kemungkinan buruk. Dengan tenang dan santai Don pun memotret mereka.

Don lantas punya gagasan untuk memotret bagian depan rumah sakit itu. Barangkali saja lebih banyak pasien yang dikeluarkan dari tempat perawatan. Tentunya sebuah gambar yang bagus untuk dimuat di korannya. Dan benar saja, pelataran parkir rumah sakit penuh. Bahkan jalan di depan rumah sakit pun padat oleh mobil. Suara klakson bersautan seperti saling menyalak, berebut minta jalan lebih dulu. Dan yang baru saja disadari oleh Don adalah sebagian besar yang memadati tempat parkir rumah sakit itu bukanlah pasien dari dalam, melainkan pasien yang baru saja datang. Dan sebagian dari mereka masih tergeletak di trotoar jalan dengan wajah penuh darah, tangan patah, kaki patah, wajah pucat pasti, suara tangis, tubuh berselimut debu. Mereka korban gempa. Lebih mengiris hati lagi, dalam hitungan menit, jumlah mereka terus bertambah berlipat-lipat.

“Ya, Allah… mengapa jadi begini? Jadi, gempa yang baru saja terjadi sangat serius? Bukan sekadar goncangan sayang yang kadang terjadi saat Gunung Merapi mulai menari?”

Tubuh Don mulai gemetar. Ia tak menyangka, gempa yang berlangsung kurang dari satu menit – tepatnya 57 detik – itu ternyata membawa korban.



[4] Jeep double gardan atau berpenggerak roda ganda yang dibuat untuk melintasi segala medan.

[5] (bhs Jawa): gempa bumi

[6] Don memanggil istrinya dengan panggilan Mih, yang berarti Mamih dan istrinya memanggil Don dengan panggilan ayah. Tapi kedua anak mereka memanggil ibunya dengan sebutan ibu dan memanggil Don dengan sebutan ayah.

[7] Pengetahuan tentang gempa bumi yang biasa diberikan kepada murid-murid SD. Biasanya mereka belum dikenalkan dengan jenis gempa bumi yang lain yakni gempa bumi runtuhan yang terjadi melalui runtuhan dari lubang-lubang interior bumi, misalnya akibat runtuhnya tambang atau batuan yang menimbulkan gempa

[8] Kearifan kultur Jawa selalu menemukan keberuntungan di atas musibah. Meski rumah roboh, beruntung penghuninya tak tertimpa, meski mengalami kecelakaan parah dan dalam kondisi koma, beruntung masih hidup. Begitulah orang Jawa menyikapi hidup dan nasib.

[9] Pojok beteng berarti sudut benteng yang dibangun mengelilingi Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Karena berbentuk empat persegi – atau malah mungkin bujur sangkar, aku tak tahu pasti – dengan sendirinya ada empat sudut. Namun yang terkenal hanya pojok beteng kulon atau sudut benteng barat dan pojok beteng wetan atau sudut benteng timur.

[10] RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta yang awalnya bernama PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem) didirikan pada 15 Februari 1923 berupa klinik dan poliklinik yang lokasi pertamanya di Jagang Notoprajan No 72 atas inisiatif HM Sudjak yang didukung sepenuhnya oleh KH Ahmad Dahlan. Tahun 1928 pindah lokasi ke Jalan Ngabean No 12 B (sekarang bernama Jl KH Ahmad Dahlan) dan tahun 1936 pindah lagi ke Jalan KH Ahmad Dahlan No 20 hingga saat ini. Tahun 1970 status klinik dan poliklinik berubah menjadi RSU PKU Muhammadiyah. Istilah PKU sendiri berarti Pembina Kesejahteraan Umat. Meski berlokasi di Jalan KH Ahmad Dahlan yang membentang dari arah barat ke timur, namun RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta juga memiliki pintu masuk menuju ke ruang UGD dan sebuah pintu kecil khusus untuk para karyawannya di Jalan Bhayangkara yang membentang dari arah selatan ke utara lantaran posisinya memang nyaris berada di sudut pertigaan. Pintu kecil itulah yang dilihat Don dan dipotretnya dari depan sekolah anaknya yang juga berlokasi di Jalan Bhayangkara..

Tidak ada komentar: