Selasa, April 22, 2008

novel yang belum selesai

dan belum ada judul


(5)

KALAU mau jujur, meskipun tetap berpijak pada logika, namun sepanjang kariernya sebagai wartawan, Don lebih sering menggunakan intuisi. Baginya, intuisi jauh lebih jujur dibandingkan dengan logika yang kerap kali tak mampu membendung sebagian subyektivitas. Logika sepenuhnya karangan manusia, sedangkan intuisi murni anugerah. Meskipun kadang meleset, namun intuisi Don lebih sering tepat, seperti seorang sniper yang hanya dengan satu peluru butir peluru mampu membidik dengan mematikan sasarannya.[20] Bagi Don, intuisi bisa dilogikakan, sedangkan logika tak selalu mampu diintuisikan.

Digiring oleh intuisi, Don punya resep sederhana bagi seorang reporter yang bertugas di lapangan. Resep sederhana itu pun selalu ia praktekkan. Resepnya adalah: jangan tergantung pada alat perekam ketika wawancara. Tentu saja sebagaimana teori-teori yang lain, resep ini pun memilik perkecualian, khususnya ketika wawancara mengenai persoalan-persoalan riskan yang tak boleh ditafsirkan. Selebihnya, resep ini menjadi manjur, setidaknya bagi Don sendiri.

Bagi Don, alat rekam hanya membuat seorang wartawan malas dan menyebabkan sebuah liputan menjadi sangat kering. Dengan alat rekam, seorang wartawan terbiasa tak mendengarkan secara cermat penjelasan seorang narasumber dan sesampainya di kantor memindahkan hasil rekaman itu ke dalam tulisan, kata demi kata. Itu sebuah tulisan yang kering. Hasil liputan yang garing. Sebaliknya, dengan hanya mengandalkan catatan, seorang reporter dituntut untuk menyimak penjelasan narasumber secara intens dan penuh konsentrasi. Catatan-catatan yang ditulis di notes[21] hanyalah kerangka saja dari sebuah bangunan penjelasan yang sangat luas. Dan setiba di kantor, reporter dengan notes itu akan dipaksa berpikir dan merekonstruksi penjelasan demi penjelasan yang diberikan oleh seorang narasumber. Saat rekonstruksi itulah, kerap muncul gagasan untuk lebih memperkaya tulisannya dengan warna, antara lain seperti apa sikap narasumber ketika diwawancara, apakah ada yang iseng dan sebagainya dan seterusnya. Hasilnya, hasil liputan reporter semacam itu tak akan pernah terlihat garing.

Intuisi itu pulalah yang menjadi bekalnya ketika mendapat tugas sebagai redaktur pelaksana sekaligus manajer produksi yang secara otomatis bertanggung jawab penuh atas penggarapan dan isi materi halaman 1 korannya. Bagi profesional media, halaman 1 merupakan medan pertempuran yang sesungguhnya. Persaingan nilai berita antarsurat kabar terletak di materi dan isi berita-berita yang dimuat di halaman pertama yang menjadi wajah dan identitas sebuah media itu. Dan intuisi Don – yang lantas dilogikakan – selalu bisa dibanggakan. Hampir setiap hari, headline korannya selalu sama dengan koran-koran lain yang bertiras jauh lebih banyak dan punya jangkauan lebih nasional. Padahal koran tempat Don bekerja hanyalah sebuah koran kecil dengan tiras yang sangat terbatas dan jumlah wartawan yang juga terbatas. Bagi banyak orang yang bekerja di koran itu, kesamaan-kesamaan tersebut membuat mereka memiliki rasa percaya diri. Setidaknya, mereka masih punya kebanggaan di tengah-tengah jeritan nasib yang belum menemui terang dan standar ekonomi yang sangat terbelakang.

Dengan intuisinya, Don bertarung melawan koran-koran raksasa. Berbekal intuisinya Don menyuguhi pembaca yang lantaran kondisi perekonomiannya terpaksa hanya mampu mengeluarkan sedikit uang namun ingin tetap mendapatkan asupan berita yang istimewa. Don mampu menjangkau semua itu. Don bisa memberi pembaca nutrisi bacaan yang menunya tak kalah dibandingkan dengan bacaan yang dilahap orang-orang dengan duit berlebih sehingga bisa berlangganan koran-koran besar yang mahal. Don memanjakan pembacanya yang berada di limit strata kelas menengah.

Secara implisit maupun secara eksplisit, Don menjadi kebanggaan. Don menjadi pahlawan di tengah jepitan ketidakberdayaan. Don menjadi figur yang diidolakan meski keberadaannya tak sempurna: ah, manusia mana sih yang memiliki kesempurnaan?

Itu semua adalah hasil kerja keras. Don tak pernah berhitung dengan waktu. Don tak pernah berhitung dalam konteks untung dan rugi atas dedikasinya. Bahkan, Don nyaris menyerahkan sepenuhnya – perhatian, waktu, pikiran dan tenaga – pada profesinya. Ia selalu merasa punya beban hutang yang harus dibayar bagi profesi yang dipilihnya dengan kesadaran penuh itu. Meski profesi itu tak mampu memberinya kekayaan secara materi, namun Don bisa mendapatkan kepuasan batin yang tak terukur bahkan oleh tumpukan uang sekalipun. Kesadaran ini ia dapatkan kelak, setelah ia tak lagi menanamkan benihnya di koran yang membesarkan kemampuannya.

Meski selalu membantah jika disebut workaholic, namun Don tak pernah melepaskan pikirannya sesaat pun kepada hal lain di luar pekerjaan dan tanggung jawabnya. Selama bertanggung jawab menangani halaman 1, Don tak pernah mengambil cuti. Dalam kondisi sakit pun Don sering memaksa diri untuk masuk kerja. Biasanya ia baru minta izin ketika tubuhnya benar-benar sudah terkapar tak berdaya di atas tempat tidur. Selebihnya, jika masih bisa duduk, Don memilih menghabiskan waktu bersama tumpukan pekerjaan dan halaman demi halaman koran yang harus dikoreksinya sebelum ia setujui untuk naik cetak.

Kata “libur” hanya formalitas bagi Don. Benar-benar formalitas. Sebab, di saat genting, meskipun dalam posisi hari libur, Don tetap ke kantor. Saat peristiwa Bom Kuningan[22], Don langsung ke kantor setelah selesai mengajak kedua bocah manisnya jalan-jalan. Padahal secara formal, saat itu adalah hari liburnya. Namun tanggung jawabnya untuk memberi pembaca nutrisi bacaan yang mendekati sempurna, membuatnya tak perlu berhitung dengan tanggal maupun hari. Lebih dari itu, secara intuitif, ia butuh penyaluran kepuasan. Sebuah orgasme spiritual yang bisa didapatkan setiap pagi, ketika melihat korannya berdampingan dengan koran-koran lain dengan kualitas materi yang tak berbeda.

Namun orgasme spiritual itu harus ia tahan, manakala nyalinya berada di titik nadir. Ketika kecemasan dan ketakutan justru menguasai diri dan pikirannya. Ketika bencana hadir di saat yang sangat tak terduga. Di saat gempa mengguncang bumi tempatnya berpijak. Saat keluarga sangat membutuhkan keberadaannya – membutuhkan kebersamaannya – untuk mengusir ketidakberdayaan. Don memanfaatkan jatah hari liburnya untuk menghindarkan keluarganya dari nasib buruk dan tragedi. Sama sekali bukan bermaksud menghindar dari tugas dan kuwajiban sebagai salah satu pilar pimpinan di kantornya. Justru ia menjalankan tugas dan fungsi pimpinan dalam sebuah unit yang paling kecil, unit yang paling lekat jalinan emosionalnya: keluarga.

Toh hanya satu hari ia pergi. Hanya pada hari di saat ia mendapat jatah libur. Dan keesokan harinya, Don benar-benar sudah kembali ke Jogja. Keluarganya pun sudah diboyong kembali ke rumah kontrakannya, meski sempat dicegah lantaran situasi masih mencemaskan. Namun Don bersikukuh. Senin, dua bocah manisnya harus masuk sekolah. Itu harga mati. Sekolah tak boleh ditinggalkan. Don ingin mendidik anaknya bahwa sekolah harus menjadi candu yang jika tak dinikmatinya sehari maka tubuh menjadi sakaw. Sekolah harus menjadi hak, bukan kuwajiban.

Situasi yang asing sangat terasa di kantor. Big Boss nyaris tak mengacuhkan keberadaan Don. Sangat dingin. Bahkan melebihi perang dingin yang di masa lalu – sebelum runtuhnya “kekaisaran” komunis – antara dua negara adidaya, Amerika dan Uni Sovyet. Tentu saja itu sebuah iklim yang sangat tidak kondusif untuk sebuah produktivitas.

Don memilih tak berpikir picik. Ia membiarkan kebekuan itu menjadi selimut penghangat kerjanya. Baginya, yang paling penting dipikirkan adalah hasil penerbitan koran besok pagi. Bukan pertempuran batin dengan Big Boss-nya. Secara moral, ia memang merasa bersalah telah membiarkan anak buah dan teman selevelnya bersusah payah sendirian menerbitkan koran di tengah-tengah situasi yang serba darurat. Namun secara administratif, Don tak perlu minta maaf. Sebab tak ada peraturan yang ia langgar. Tak ada kesepakatan yang ia ingkari.

“Kalau kamu tak meminta maaf, persoalan pasti jadi panjang, meskipun kita sama-sama tahu, kamu tak bersalah dalam hal ini. Kamu tak masuk kerja karena memang itu hakmu di hari libur. Kalaupun kamu masuk kerja, hanya ucapan terima kasih yang bisa kami berikan,” Manajer PSDM[23], Wardaya, mencoba menengahi perselisihan antara Don dengan pucuk pimpinannya.

“Tapi apa salahku, Bung?” Don merasa tak habis mengerti dengan masalah yang dihadapinya.

“Tidak ada. Bahkan ketika aku diperintahkan memanggilmu untuk memberi peringatan, aku pun tak menemukan pasal yang kamu langgar. Satu-satunya kesalahan kita adalah, posisi kita yang hanya karyawan dan dia pimpinan tertinggi sekaligus pemilik media ini.”

“Jadi hanya karena subyektivitas itu aku harus minta maaf? Sungguh ironis. Kita bekerja di media massa. Setiap hari kita berteriak-teriak soal demokrasi, namun yang terjadi di tubuh kita sendiri borok yang mengedepankan kediktatoran. Sangat tidak masuk akal.”

“Tapi itu fakta dan kita tak punya kuasa apa-apa.”

Don memilih untuk tetap tidak mau meminta maaf. Persoalannya bukan terletak pada gengsi atau akan dianggap kalah atau harga dirinya akan lebur, namun pada prinsip yang dikukuhinya bahwa tidak ada kesalahan yang ia perbuat. Ia tetap bertanggung jawab atas pekerjaannya. Ia tetap mengedepankan sikap profesional sebagai seorang pekerja. Ia tetap menjunjung tinggi komitmennya pada profesi. Ia tetap membuat korannya tak terbelakang dibandingkan koran-koran yang lain.

Senin siang yang sangat gerah bagi Don. Senin yang menjengkelkan. Di rumah, istrinya tahu Don sedang menghadapi persoalan. Namun, sebagaimana yang telah berlangsung selama ini, Don tak pernah membagi persoalan apa pun yang terjadi di kantor ke rumah. Bagi Don, rumah adalah dunia lain yang tak ada sangkut pautnya dengan pekerjaan. Rumah adalah istana yang harus ia jaga keasriannya. Rumah menjadi tempat pelariannya yang paling nyaman. Membagi persoalan kantor ke rumah, sama artinya dengan membangun pekerjaan di dua tempat sekaligus. Don tak mau itu terjadi. Don tetap mempertahankan pemisahan yang jelas antara kepentingan rumah dengan kepentingan kantor. Kalaupun benang kusut pekerjaan terbawa ke rumah, hal itu hanya sebatas psikis saja. Secara fisik, sama sekali tidak.

Karena itulah ketika istrinya bertanya tentang persoalan yang ia hadapi, Don tetap tak mau berbagi. Don hanya berkilah yang dihadapinya hanya masalah kecil yang kelak pasti akan berakhir dengan sendirinya. Itu keyakinan Don. Ia tidak menyadari, bahwa kesenjangan yang kini ada hanya merupakan awal dari sebuah petaka lain yang kelak akan lebih mengancam dirinya. Petaka yang jauh lebih besar dari gempa bumi berskala 5.9 Skala Richter yang telah memorak-porandakan sebagian peradaban.



[20] Gambaran itu dihadirkan oleh Tom Berenger dalam film Sniper yang dibuat dalam tiga sequel, masing-masing Sniper, Sniper 2 dan Sniper 3.

[21] Buku kecil yang selalu dimiliki oleh sebuah media dan menjadi salah satu buku bawaan para reporter. Biasanya di buku itu juga tertulis nama medianya.

[22] Bom yang diledakkan oleh anggota Jamaah Islamiyah di Kedutaan Besar Australia di Jakarta pada tahun 2004.

[23] Pengembangan Sumber Daya Manusia. Di tempat lain sering juga disebut Manajer Personalia atau Manager HRD (Human Resource Department)..

novel yang belum selesai

dan belum ada judul


(4)

NALURI paling purba manusia adalah menyelamatkan diri ketika oleh karena beberapa hal ada ancaman terhadap keselamatannya. Naluri yang hanya berbatas tipis dengan makhluk lain yang bernama binatang. Sama dengan manusia, binatang juga punya insting untuk menyerang atau bertahan. Hanya saja yang menjadi pembeda di antara keduanya adalah logika. Binatang tak mampu mencerna hukum kausalitas yang memastikan sebuah akibat terjadi pasti lantaran ada penyebabnya: ada asap pasti ada api. Namun manusia, bisa mengolah dengan pikirannya sejauh mana penyebab-penyebab dan sejauh mana pula kadar akibat yang akan ditanggungnya.

Jika kemudian Don memutuskan untuk mengungsi, itu lantaran ia menilai penyebab-penyebab yang dihadapinya sudah pada takaran riskan bagi kelangsungan hidup dirinya maupun keluarganya. Gempa bumi berskala 5.9 pada Skala Richter yang meluluh-lantakkan belahan selatan Jogja pagi hari itu – dan berlanjut pada gempa susulan-gempa susulan yang frekuensinya terus meningkat – bisa berakibat fatal bukan saja bagi jiwa mereka namun juga psikologi dua bocah manisnya. Trauma berkepanjangan bukan tidak mungkin akan dialami dua bocah yang diharapkan menjadi penerus dinastinya: Dinasti Don yang meskipun tak punya kekuasaan dan kekuatan sebagaimana Michael Corleone – yang berkat kesabarannya menjadi penerus kekuasaan Dinasti Corleone[17] – namun tetap punya makna sangat besar bagi lingkup kecil keluarga dan kerabatnya.

Don melihat Si Kecil sudah mulai dirundung cemas. Pengalaman pertama dalam hidupnya yang belum genap delapan tahun itu tampak jelas mulai menghantuinya. Sorot matanya kerap terlihat sayu manakala gambar-gambar tentang para korban bermunculan di semua saluran televisi. Don tak tahu apa yang ada di pikiran anak bungsunya itu. Don tak bisa menyelami apa yang tengah dibayangkan bocah yang tanggal lahirnya bertepatan dengan tewasnya John Lennon akibat penembakan di depan apartemennya: 8 Desember. Bagi Don, tanggal itu sangat istimewa. Seorang legenda yang diidolainya yang menyebarkan aroma perdamaian di seluruh dunia, harus meregang nyawa oleh sebuah kekerasan yang sangat ditentangnya. Don merasa bersyukur, Tuhan memberinya kado indah pada tanggal yang sangat dikenangnya itu. Tuhan memberikan sesosok bayi mungil yang diharapkan juga bisa menyebarkan perdamaian di bumi yang sudah sangat gerah ini.

Kecemasan Don terhadap trauma Si Kecil melebihi kecemasannya manakala dua bocah manisnya itu ikut-ikutan menonton tayangan berita kriminal di layar kaca yang acapkali mempertontonkan kekerasan jauh melebihi film-film yang disensor secara dahsyat. Seolah-olah kekerasan merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan. “Hidup ini keras, Kawan. Bertahan hidup tak bisa hanya dengan sikap lembek. Berjuang untuk hidup harus dengan modal otot yang besar, bukan otak yang luas.”

Ihwal berita kriminal ini, Don teringat seorang kawan bulenya yang sudah cukup lama bermukim di Jogja. Kawan asal Belgia itu masih saja terkejut setiap menonton televisi antara pukul 11:00 hingga 13:00. Pada jam-jam itu, sebagian besar saluran televisi menayangkan berita kriminal secara bergiliran. “Apakah mereka teroris? Mengapa mereka selalu ditembak?” itu komentar yang selalu muncul dari mulutnya manakala melihat beberapa orang berpakaian preman berbadan besar memapah satu dua orang yang tertatih-tatih lantaran kakinya dihadiahi timah panas.

Bagi kawan Don itu, aneh rasanya melihat seorang penjahat harus bertaruh nyawa dan merasakan kesakitan di tempurung kakinya akibat peluru disemayamkan di sana. Di kamusnya, tembakan hanya layak diberikan kepada teroris yang telah menghilangkan banyak nyawa dan tak mau menyerah. Kalimat terakhir “tak mau menyerah” itu selalu diberi penekanan. Artinya, hanya mereka yang tetap mencoba bertahan dan membahayakan orang lain – apalagi yang nyata-nyata mempunyai sandera – yang patut ditembak. Itu pun setelah melalui proses yang panjang: antara lain dengan negosiasi, mencoba membujuk atau mencoba menjebak dengan pura-pura memenuhi tuntutan mereka.

Kawan Don itu belum tahu tentang anekdot tembakan yang selalu meleset – niatnya menembak kaki, ternyata yang kena kepala; niatnya memberi tembakan peringatan, ternyata yang terkena punggung – meskipun dilakukan pada jarak yang sangat dekat, disertai dengan pernyataan yang selalu sama: mereka berusaha melarikan diri ketika diminta menunjukkan tempat persembunyian rekan-rekannya. Seolah-olah tak ada kalimat lain yang bisa disusun.

Tapi itulah kehidupan yang terdiri atas dua wajah yang selalu bertolak belakang. Di satu sisi orang berteriak-teriak menyuarakan perdamaian, di sisi lain banyak orang yang justru membuat kekerasan. Di satu keping orang-orang ingin membuat ketenteraman, di keping yang lain selalu ada orang yang justru sengaja membuat keonaran. Dalam kehidupan yang amburadul itulah, generasi demi generasi terlahir. Masing-masing dengan membawa takdir dan jalan hidup yang berbeda untuk mengisi dua keping wajah kehidupan yang bertolak belakang itu.

Don tak ingin dua bocah manisnya hidup di kepingan yang penuh kekerasan, meski ia sendiri tak mampu sepenuhnya menjamin bisa mengalirkan kehalusan dan perdamaian dalam urat nadi keduanya. Namun setidaknya ia selalu berusaha, selalu mencoba, salah satunya dengan menyekolahkannya di sekolah yang berbasis agama: SD Muhammadiyah. Ia ingin, fondasi yang kukuh bisa menopang masa depan kedua bocah manisnya itu dalam sebuah bangunan mental yang bijak dan penuh kearifan. Sebuah cita-cita yang mungkin sederhana, namun bagi Don sangat istimewa.[18]

Karena itulah, ketika kecemasan, ketakutan, kekhawatiran membayangi Si Kecil, Don ingin serta-merta menyingkirkannya. Don tak ingin buah hatinya mengalami trauma psikis. Anak sekecil itu selayaknya menghiasi hidupnya dengan buah-buah yang manis dan segar, bukan dengan gambaran kehancuran dan bencana yang seolah-olah hendak menyatakan kehidupan telah berakhir. Tak ada lagi yang tersisa. Dan tempat teraman dalam lingkaran logikanya adalah tempat ibunya di pantura. Kerangka berpikirnya sederhana: gempa terjadi di Jogja dan sekitarnya yang notabene berada di wilayah selatan, itu berarti wilayah utara Pulau Jawa relatif lebih aman. Apalagi menurut kabar yang didengarnya, meski goncangan juga dirasakan di wilayah pantura, namun kadarnya sangat jauh lebih ringan. Itu pun hanya sekali, ketika Jogja dan sekitarnya digoyang dalam skala 5.9 Skala Richter. Selebihnya, ketika gempa susulan terjadi, wilayah pantura sudah kembali ke ketenangan semula.

Maka, ke sanalah Don memboyong keluarganya.

***

DALAM kondisi normal, seharusnya Don berada dalam situasi yang sangat kelelahan. Setelah semalaman tak menitipkan sebagian hidupnya ke alam istirahat yang nyaman ditambah kecemasan dan ketidakpastian nasib yang digaulinya sejak pagi hingga siang dan keharusan melakukan perjalanan jauh ke luar kota selama sekitar empat jam, mestinya membuat tubuh Don kehabisan energi, sendi-sendinya tak lagi punya daya dan matanya tak lagi bercahaya. Namun itulah keajaiban. Dalam situasi darurat, selalu saja ada tenaga ekstra yang hadir begitu saja tanpa diketahui dari mana asalnya. Seperti yang secara fisik selalu digambarkan oleh film-film action khas Hollywood, di saat sang jagoan terjepit antara hidup dan mati, selalu muncul dewa penolong yang tiba-tiba menembak penjahat yang sedang mengancam nyawa sang jagoan atau menyelamatkannya dari apa pun ancaman yang tengah dihadapi. Tenaga ekstra itulah yang membuat Don tak merasakan kelelahan meski selama empat jam harus berkonsentrasi mengemudikan jeep bututnya. Harapannya hanya satu: cepat sampai ke tujuan dan bisa tidur nyaman.

Hari berada di titik senja ketika jeep butut merambat pelan memasuki kota di pantura. Maghrib hampir menjelang. Sepanjang perjalanan, ponselnya nyaris tak berhenti menyalak. Kerabat dan keluarga menanyakan kabar mereka. Semua menampakkan kecemasan dan merasa lega ketika diberitahu mereka selamat. Kerabat dan keluarga – seluruhnya – menyarankan menyarankan mereka untuk sementara mengungsi dulu sampai ada kepastian situasi yang aman; sebuah saran yang juga menyisakan pertanyaan baru betapa relatifnya kadar sebuah situasi yang aman. Seperti apa yang dimaksud dengan situasi yang aman? Bagaimana wujudnya yang nyata? Absurd. Sebab yang dihadapi bukan kekacauan akibat huru-hara yang bisa dideteksi menjadi sebuah situasi yang aman jika aparat keamanan berhasil menghentikan huru-hara dan menangkapi para pelakunya, melainkan kemurkaan alam. Bangunan-bangunan yang hancur, korban-korban yang berjatuhan dan jumlahnya terus bertambah, perkampungan-perkampungan yang rata dengan tanah seperti kembali ke zaman purba, kegelapan yang mencekam, menjadi pemandangan baru yang selalu terpampang di depan mata. Belum lagi gempa susulan yang masih terus menggoyang. Lantas situasi semacam apa yang dianggap aman? Sulit menerjemahkannya. Namun Don selalu mengiyakan. Dengan sikap semacam itu, paling tidak membuat kerabat dan keluarga yang menghubunginya bisa bernafas lega dan tak ditelikung oleh kecemasan yang panjang.

Baru seperempat akhir perjalanan ponselnya kembali tenang. Tak ada suara, kecuali dua bocah manis yang kadang-kadang merengek minta minum atau merasa lapar – lagi – lantaran melihat penjual makanan yang mereka gemari meski sesungguhnya belum lewat satu jam mereka makan. Tapi itulah anak-anak.

Jarak yang tersisa tinggal 800 meter dari tujuan ketika lagi-lagi ponsel Don menjerit. Serta-merta Don mengangkatnya tanpa perlu melihat siapa yang menghubunginya.

“Don, segera ke kantor sekarang juga. Kita mau menerbitkan edisi khusus gempa untuk besok pagi,” Big Boss[19] langsung memberondongnya dengan kalimat yang cepat.

“Aduh, maaf, Boss, nggak bisa. Aku sudah jauh dari Jogja. Aku ada di pantura.”

“Kenapa bisa begitu? Saat ini situasi darurat, kenapa kamu malah pergi? Mana tanggung jawabmu sebagai pimpinan?” suara Big Boss terdengar marah.

“Sekali lagi maaf, Boss. Besok saya pasti sudah kembali ke Jogja.”

Tak ada jawaban lantaran telepon langsung diputus.

Sesaat Don terpekur. Ia merasa berada dalam posisi yang sangat tak berdaya. Di satu sisi ia ingin bersama anak buahnya berjuang demi korannya, di sisi yang lain ia ingin menyelamatkan keluarganya. Sudah sejak awal sesungguhnya ia menghadapi dilema itu. Sejak sebelum memutuskan mengungsi, ia harus mempertarungkan dua alasan untuk dua kepentingan yang berbeda. Nalurinya sebagai wartawan memang mengajaknya untuk tak kemana-mana dan memimpin barisan anak buahnya membagikan kabar terbaik untuk pembacanya. Namun nalurinya sebagai orangtua dan kepala keluarga juga menuntunnya untuk menyingkir jauh dari situ, menyelamatkan diri, menghindarkan kedua bocah manisnya dari sebuah kemungkinan trauma berkepanjangan. Keduanya punya hubungan erat berdasarkan hukum sebab-akibat. Jika ia tetap bertahan di Jogja, ia harus siap menghadapi keluarganya yang ketakutan; jika pergi menjauh, ia tak bisa menuangkan gagasan-gagasan dan konsep pemberitaan yang diinginkannya.

Jika kemudian Don memilih pergi, itu lantaran ia punya dua alasan. Pertama, keselamatan keluarga jauh lebih penting dibandingkan dengan hal-hal yang lain. Kedua, hari itu hari Sabtu yang berarti hari liburnya dan menjadi haknya penuh untuk tidak masuk kerja. Secara langsung maupun tidak, kedua hal itu jelas saling mendukung. Paling tidak bagi logikanya.

Keyakinan atas keputusan yang benar itulah yang membuat Don terlepas dari kebimbangan yang menjalar sesaat setelah menerima telepon dari Big Boss. Dan kebenaran memang selalu bersifat relatif. Bagi Don keputusan itu merupakan keputusan yang paling benar, namun bagi orang lain belum tentu. Sebab sebuah keputusan diambil bukan saja lantaran dominasi logika sebagai pertimbangan, melainkan juga diturutcampuri oleh intuisi. Dan intuisi itulah yang telah menyebabkan sebuah keputusan yang benar menjadi bersifat relatif. Tak ada kebenaran yang mutlak, kecuali kebenaran dari Yang Mahasegalanya.

Don sadar benar akan hal itu.

Dan ia yakin tak ada risiko yang akan dihadapi akibat keputusannya itu, meski barangkali keputusan itu bersifat intuitif.



[17] Saat Vito Corleone tertembak dan dirawat di rumah sakit, Santino Corleone yang biasa dipanggil Sonny Corleone memimpin sementara anak buah keluarga Corleone untuk menuntut balas. Michael yang oleh ayahnya diharapkan menjadi anak sekolahan dan berada di jalur yang normal hanya ditugasi menelepon Luca Brasi, tangan kanan Vito Corleone yang paling dipercaya dan saat itu tak bisa dihubungi. Michael diminta terus menelepon Luca setiap 15 menit. Dengan penuh kesabaran Michael melakukan tugas itu. Kesabaran atas tugas yang bagi orang lain di lingkup “Dinasti” Corleone dianggap sangat remeh dan tak berguna itu ternyata berbuah sangat manis. Dinasti Corleone pada akhirnya justru diteruskan oleh Michael yang tindakan dan pikirannya tak seceroboh Sonny – yang akhirnya juga harus tewas tertembak – dan mewarisi kebijakan dan ketenangan sang Godfather.

[18] Dalam ketidaksempurnaannya sebagai makhluk bernama manusia, Don merasa wajib mencari cara lain untuk memberikan pemahaman dasar-dasar agama bagi kedua anaknya. Don tak mampu membimbingnya secara pribadi, lantaran pemahamannya tentang agama sangat-sangat dangkal. Cita-citanya sederhana, kedua anaknya harus lebih memahami dan menghayati agama melebihi pemahaman dan penghayatannya. Don ingin, setidaknya hingga strata SMP – syukur-syukur bisa sampai SMA – kedua anaknya dididik di sekolah berlatar belakang agama sebagai fondasi awal bagi masa depan mereka.

[19] Don selalu memanggil pimpinan tertinggi di penerbitannya dengan sebutan Big Boss. Sebutan itu ia pakai lantaran tak punya kemungkinan lain. Memanggil hanya namanya, terasa aneh, sebab orang itu adalah pucuk pimpinan tertinggi. Memanggil dengan sebutan “Pak” atau “Mas” juga agak janggal di lidahnya lantaran mereka nyaris sebaya.

novel yang belum selesai

dan belum ada judul


(3)

RUMAH kontrakan Don termasuk berada di tengah-tengah gang. Tiga rumah ke arah barat, terdapat mulut gang yang bermuara pada jalan kampung dan dua rumah ke arah timur ada pertigaan. Meski rumah kontrakan Don di pinggir jalan, namun hanya jalan sebuah gang yang tak terlalu lebar. Jika ada dua buah mobil berpapasan, maka salah satunya harus mengalah. Kalau tak mundur kembali ke ke arah barat ke mulut gang, maka harus mepet sangat ke pinggir yang berarti juga mepet ke tembok pembatas rumah. Atau pilihan ketiga, mundur ke arah timur, ke sudut pertigaan yang posisinya lebih lebar. Di sudut pertigaan itulah Don memarkir jeep bututnya setelah kedua bocah manis dan istrinya turun di depan rumah. Don sengaja parkir di situ sebagai wujud kesiagaannya jika tiba-tiba gempa terjadi lagi dan harus segera menyelamatkan diri. Sebagai kepala keluarga, Don merasa harus berpikir praktis namun efisien dalam situasi darurat, sebagaimana yang dilakukan oleh “Don-Don”[11] yang lain yang sangat diidolakannya.

“Masak nggak, Yah?” suara istrinya memecah keheningan pagi itu.

Hari memang belum beranjak dari pagi, meski kedua bocah manis itu sudah pulang dari sekolah. Hari itu, sekolah memutuskan untuk memulangkan murid-muridnya jauh lebih awal. Bahkan karena menganggap situasi masih rawan, anak-anak hanya diminta berkumpul di halaman sekolah untuk mendengarkan pengumuman dari kepala sekolah yang isinya untuk sementara sekolah diliburkan hari itu – atau istilah resmi di sekolah itu biasanya menyebut anak-anak boleh belajar di rumah – dan masuk kembali hari Senin.

“Nggak usah, Mih. Nanti beli aja. Lagi pula nggak bisa masak nasi kan?”

Istrinya mengangguk.

Selanjutnya bengong. Mereka hanya duduk di sofa di ruang tamu sambil merenungkan apa yang baru saja terjadi. Tak ada yang bisa mereka lakukan. Keinginan menonton televisi harus mereka kubur lantaran aliran listrik terputus sejak gempa menjelang pukul 06:00 pagi tadi terjadi. Aliran listrik terputus itu pulalah yang menyebabkan mereka tak bisa menanak nasi dengan rice cooker.

Don mulai mereka-reka apa yang sebenarnya tengah terjadi. Beberapa minggu terakhir ia menurunkan berita aktivitas Gunung Merapi yang mulai meningkat di halaman 1 korannya. Apalagi saat itu status Gunung Merapi sudah sampai pada tahap Awas Merapi.[12] Aktivitas yang terus meningkat menyebabkan gunung di perbatasan Jawa Tengah dan DIY itu bisa sewaktu-waktu meletus. Penduduk yang tinggal dalam radius 10 kilometer dari puncak Merapi dievakuasi ke tempat-tempat pengungsian yang aman. Awan panas terus meluncur, lava pijar pun berguguran. Aktivitas gempa fase banyak pun terjadi puluhan kali.

Karenanya, ketika pagi tadi, bumi benar-benar berguncang, semua orang – termasuk Don – yakin, Gunung Merapi telah meletus. Aktivitas salah satu gunung berapi yang sangat aktif itu sudah mencapai titik kulminasi, meskipun Mbah Maridjan juga tak kalah yakin bahwa gunung yang ditungguinya itu masih dalam kondisi aman sehingga ia pun tetap ngotot tak mau dievakuasi.[13] Dan untuk sementara, orang-orang mulai lega karena kecemasan mereka selama ini menunggu kepastian kabar Gunung Merapi sudah terjawab. Kecemasan kalau-kalau letusan Gunung Merapi yang diperkirakan dahsyat itu akan menenggelamkan kampung mereka atau bahkan mematahkan Pulau Jawa, seperti desas-desus yang santer terdengar beberapa hari terakhir. Ternyata, itu cuma desas-desus belaka. Sebab faktanya, kendati Gunung Merapi telah meletus, namun tak ada kampung yang tenggelam. Setidaknya kampung yang ditempati Don. Dan setidaknya itulah pikiran yang menguap ke permukaan orang-orang di kampung itu.

Wajah-wajah para tetangga yang masih banyak berkerumun di luar rumah untuk saling berbagi cerita yang tak habis-habisnya – kadang-kadang juga cerita yang sama diulang-ulang untuk pendengar yang berbeda – mulai terlihat ceria. Beban kecemasan mereka selama ini seperti sudah tertumpah habis. Ludes hingga nihil sama sekali.

Namun ternyata itu tak berlangsung lama. Sebab kabar baru mulai tersebar. Tsunami datang. Air dari laut selatan[14] sudah sampai ke wilayah Bantul. Artinya, tinggal menghitung menit untuk air meraih kampung mereka yang hanya berjarak sekitar 7 km dari Bantul. Para tetangga Don pun mulai berlarian. Wajah-wajah ceria yang untuk sementara bermukim, kini sudah hilang, berganti dengan wajah-wajah yang kembali penuh kecemasan. Orang-orang mengendari sepedamotor sambil memboyong anak dan istrinya. Sebagian yang lain pilih berlari karena memang tak punya kendaraan untuk mereka tumpangi.

Don yang masih di dalam rumah keheranan. Ia pun keluar.

“Tsunami, Pak… tsunami. Cepat menyingkir,” orang-orang mencoba memberitahu Don tentang situasi yang tengah berlangsung.

Don masih terdiam. Istrinya yang lantas menyadarkannya.

“Cepat, Yah. Orang-orang sudah mulai menyingkir,” istrinya mulai gugup.

Don segera mengambil jeep butut yang sudah disiapkannya dan segera tancap gas. Tak ada pilihan lain baginya dan bagi orang-orang kecuali menyingkir ke arah utara, menjauh dari laut. Bayangan tentang situasi di Aceh pun terbayang di benak Don dan semua orang. Tsunami yang meluluh-lantakkan sebuah kota hanya dalam hitungan menit. Modernisasi sebuah kota yang dibangun puluhan tahun, runtuh hanya dalam hitungan jari tangan.

Kengerian, kecemasan, ketakutan pun menggelayuti langkah semua orang. Mobil-mobil bak terbuka yang sarat penumpang, truk-truk yang mengangkut banyak orang, sepedamotor, sepeda onthel[15] memadati jalan-jalan kota. Ribuan orang yang berlari menambah jalanan semakin sulit dilalui. Jika tsunami benar-benar datang, niscaya tak ada satu pun yang bisa menghirup udara lagi saat itu. Jangankan berlari kencang, sekadar bergerak saja sudah susah. Jalanan macet total. Bahkan kemacetan tak hanya terjadi di jalanan kota, namun juga di jalanan seputar ring road yang mengitari Jogja. Mereka seperti sepasukan semut yang bergerak bersama menuju sebuah bangkai untuk selanjutnya bersama-sama menggotong bangkai itu ke sarang.

Don terjebak. Jeep bututnya mulai overheat[16]. Namun Don memaksanya untuk terus bergerak. Tak ada waktu untuk berpikir atau istirahat untuk mendinginkan mesin. Meski sesungguhnya ia pun menghadapi dilema. Berjalan ke arah utara berarti menjemput wilayah Gunung Merapi yang bukan tidak mungkin juga berarti mendekat ke arah bahaya yang lain. Lari dari tsunami namun mendekat ke letusan gunung. Don benar-benar terjerembab dalam pepatah usang lepas dari mulut buaya masuk ke mulut harimau.

Di pinggir-pinggir jalan – terutama di perempatan – sebagian orang mulai mengacung-acungkan papan. Mereka berusaha memberitahu bahwa kabar tsunami itu tidak benar. Kabar tentang tsunami itu hanya isu, hanya kabar angin, hanya desas-desus yang tak perlu didengarkan. Orang-orang diminta kembali. Bahkan polisi mulai mengeluarkan megaphone untuk meminta orang-orang kembali ke rumah. Namun orang-orang seperti tak peduli. Bukan hanya lebih memedulikan keselamatan jiwa masing-masing, juga lantaran suara megaphone itu tenggelam di balik suara raungan mobil dan motor yang bergerak sangat pelan.

Don sebetulnya sudah melihat papan yang diacung-acungkan orang di tengah perempatan. Namun kecemasannya menutupi logika. Prinsipnya sebagai orang Jawa yang secara naluriah menuntunnya. Prinsip tentang apa salahnya mencoba, toh tak ada ruginya yang diterjemahkan menjadi apa salahnya ikut orang-orang menyingkir ke utara – meski barangkali benar, tsunami itu tak ada – toh tak ada ruginya. Rumah sudah dikunci dan semua orang pasti juga berlarian. Tak ada orang yang berpikir mau mencuri. Semua pasti berpikir sama: menyelamatkan diri daripada mati konyol.

Don mulai bernafas lega ketika jeep bututnya sudah merangkak sampai ke ring road utara. Namun di situ ia mulai gelisah. Ia kehilangan arah. Tak tahu mau kemana.

“Nggak ada tsunami ya, Pak?” Don mencoba memastikan kabar itu kepada seorang polisi yang sangat sibuk mengatur lalu lintas.

“Nggak ada. Silakan jalan.”

Don lega. Ia punya kepastian sekarang: pulang ke rumah. Cita-citanya sangat sederhana, ia ingin tidur. Semalaman tak tidur ditambah kegiatan tambahan yang penuh kecemasan sejak pagi tadi, membuatnya ingin segera menjemput mimpi.

“Yah… lapar…” si kecil mulai merengek.

Don pun menghentikan jeep butut kebanggannya itu di sebuah rumah makan Padang. Tak ada salahnya istirahat sejenak. Sebab diam-diam, perutnya juga menuntut minta diisi. Dan di tempat itulah, lewat televisi Don menyaksikan pemandangan yang sangat jauh di luar dugaannya selama dua hingga tiga jam terakhir. Gempa yang terjadi ternyata berkekuatan 5.9 Skala Richter. Di depan matanya tertayang rumah-rumah yang roboh, orang-orang yang tertimbun di bawahnya, kampung yang rata dengan tanah, orang-orang yang digotong beramai-ramai sambil merintih-rintih, jumlah korban yang terus bertambah setiap menit: mulai dari puluhan, hingga ratusan dan belum sampai suapan nasi terakhir, jumlah korban sudah mencapai lebih dari 1.000 orang.

Don terpana. Ia tak percaya. Gempa yang turut dirasakannya pagi tadi telah meluluh-lantakkan hampir separuh wilayah Jogja, terutama di bagian selatan. Nyalinya mulai kecut. Hatinya mulai gamang. Pikirannya terbang ke ratusan kilometer dari tempat duduknya. Kecemasan yang sama tentu dirasakan oleh ibunya dan kedua orangtua istrinya. Apalagi sambungan telepon terganggu. Telepon yang masuk maupun keluar seperti tersumbat. Don yakin, orang-orang yang dicintai dan mencintainya itu pun pasti sedang gelisah menunggu kabar darinya.

Don gamang. Nasi yang disuapnya jadi terasa hambar, kendati yang disantap usus sapi kegemarannya. Berkali-kali mulutnya ternganga melihat pemadangan memilukan di layer kaca. Ketika untuk kesekian puluh kalinya gempa susulan terjadi, Don spontan menggandeng dua bocah manisnya keluar dari rumah makan. Lagi-lagi kecemasan mengalir di denyut nadi semua orang yang berada di rumah makan. Dua bocah manis itu pun mulai terlihat cemas. Tayangan televisi itu ternyata ikut menciutkan nyali keduanya. Si kecil pun tampak ketakutan.

Don lantas membuat keputusan seketika: mengungsi!



[11] Para kepala keluarga mafia Sicilia yang biasanya berpikir efisien namun sangat praktis. Don alias Wardono sangat menyukai tokoh-tokoh mafia semacam itu dan tokoh yang dikaguminya – meskipun fiktif – adalah Don Corleone: baik Vito maupun Michael Corleone yang dikenalnya lewat trilogi The Godfather. Karena kekagumannya itulah, ia lebih suka menggunakan inisial Don di korannya dibandingkan dengan inisial lain seperti Sar atau Ono yang juga bisa mencerminkan namanya..

[12] Status tertinggi aktivitas sebuah gunung. Saat itu status Awas Merapi diberlakukan mulai 13 Mei 2006.

[13] Mbah Maridjan adalah jurukunci Gunung Merapi. Ia masih yakin gunung itu tak meletus. Bahkan pada tanggal 19 Mei 2006 mulai pukul 23:00, di tengah guguran lava pijar, Mbah Maridjan berkeliling Pedukuhan Kinahrejo, Cangkringan, bersama puluhan warga lainnya. Dengan menggunakan baju tradisional Jawa, mereka mengelilingi desa tanpa bersuara. Kegiatan itu untuk keselamatan warga dari Merapi.

[14] Samudera Indonesia

[15] Sepeda yang dikayuh. Onthel (bhs Jawa) berarti kayuh.

[16] Kondisi mesin kendaraan yang sudah sangat panas.

novel yang belum selesai

dan belum ada judul


(2)

JEEP butut 4x4[4] warna coklat yang selama ini setia menjadi pengganti langkah kakinya masih bertengger tenteram di kandangnya. Don memang lebih suka menyebutnya kandang, bukan garasi, lantaran kondisinya lebih mirip kandang. Hanya sepetak tanah di samping kanan rumah yang berbatasan dengan tembok rumah tetangga. Di sela-sela dua rumah itulah ia beri atap sederhana yang disangga enam batang bambu. Tak layak jika disebut sebagai sebuah garasi. Hanya kandang untuk sekadar berteduh dari hujan dan panas.

Jam masih menunjukkan pukul 05:30. Di dapur, ceret berisi air sedang dijarang di atas kompor. Di sumur, istrinya sedang mencuci piring dan gelas, sisa semalam. Dua bocah manis masih belum terjaga. Untuk mengisi waktu, Don menuangkan air dari keran ke dalam botol bekas air mineral untuk mengisi radiator. Sebuah kegiatan rutin tiap pagi yang ia lakukan sebelum mengantar dua bocah manis ke sekolah.

Belum genap setengah air di botol tertuang, Don mendengar bunyi gemuruh yang asing. Seperti suara pesawat tempur yang meraung-raung di awang-awang. Ia memang kerap mendengar suara pesawat tempur karena lokasi rumah yang tak terlalu jauh dari pangkalan udara Adisutjipto. Namun yang aneh, tak biasanya pesawat menyalak-salak sepagi itu. Biasanya siang atau sore hari baru terdengar suara burung besi-burung besi yang seolah mengabarkan siap bertempur itu. Lebih aneh lagi ketika kawat listrik di atas rumah juga bergoyang-goyang. Jeep bututnya pun tak mau tinggal diam, ikut bergerak maju-mundur. Sesaat terbengong, namun sesaat sesudahnya Don tersadar.

Lindu… lindu[5]… Allahu Akbar… Allahu akbar…!

Mulai terdengar teriakan yang bercampur dengan aroma ketakutan memecah pagi yang hanya lima menit menjelang pukul 06:00.

“Mih[6], gempa, Mih… Gempa…!”

Don pun meneriaki istrinya yang rupanya juga belum sadar bumi yang dipijaknya bergolak keras. Istrinya segera berlari ke luar rumah. Suara gemuruh semakin keras. Kini tak hanya kawat listrik dan jeep butut yang ia lihat bergerak. Kesadaran yang mulai sempurna membuat Don bisa melihat rumah-rumah juga bergoyang-goyang. Atap terasa mau runtuh ketika Don masuk rumah untuk membopong bocah-bocah manisnya. Si besar ia bangunkan dan langsung bangkit. Si kecil ia gendong karena kesadarannya belum pulih dari tidur semalam. Don sempat terjatuh saat hendak menggendongnya. Don memerintahkan si besar segera keluar karena gemuruh di atas semakin keras. Sewaktu-waktu atap bisa runtuh dan menimpa siapa pun yang bersemayam di bawahnya. Don berjibaku dengan waktu. Don bertarung dengan nasib. Satu pikirannya, jika atap runtuh, ia akan langsung tiarap dan meletakkan si kecil di bawahnya. Biarlah atap yang runtuh itu lebih dulu menimpa tubuhnya daripada harus bertabrakan dengan tubuh si kecil yang masih ringkih.

Berpacu dengan waktu, Don langsung membawa si kecil keluar rumah. Saat itulah istrinya tersadar.

“Yah, kompor belum kumatikan.”

Don terbengong. Sangat berbahaya. Jika kompor meledak karena goncangan yang begitu dahsyat, rumah bisa terbakar. Nekad, Don pun kembali memasuki rumah, seperti memasuki tambang bawah tanah yang nyaris runtuh. Beberapa barang di rumah mulai berjatuhan, bergulingan. Piala di atas rak buku terlempar. Lampu emergency terjatuh. Piring-piring di rak berdenting seperti bersorak, menyorakinya untuk segera menyelamatkan diri. Keluar dan berharap rumah tak roboh. Don mempercepat langkah untuk sampai ke dapur, yang kondisi bangunannya lebih rapuh dibandingkan dengan rumah utama. Don segera mematikan kompor dan tanpa pikir panjang segera keluar.

Orang-orang mulai berlarian menjauh dari rumah. Mereka menuju ke sawah di sebelah barat kampung. Tak perlu berpikir rumah yang belum terkunci. Saat itu semua orang hanya berpikir satu hal: nyawa lebih penting dari tumpukan harta. Sebuah kesadaran khas manusia yang selalu pasrah manakala sampai pada jalan buntu nasib.

Don, istri dan kedua bocah mansinya tak ikut berlari. Hampir satu menit Don melihat rumah kontrakannya menari-nari, jeep butut mereka maju-mundur dan kawat-kawat listrik berdesing-desing. “Jika ini akhir dari kehidupan, biarlah aku memeluk erat anak dan istriku. Setidaknya aku bisa menjemput akhir kehidupan itu dengan senyuman…”

Dan senyuman itulah yang keluar dari mulut kedua bocah manisnya. Mereka tak merasa takut. Barangkali lantaran dalam dunia mereka yang baru – dunia yang sangat berbeda dari dunia rahim yang hangat dan damai – baru sekali ini mereka melihat hal itu. Kata “gempa” belum termaktub dalam kamus pikiran mereka. Kalaupun pernah mendengar kata itu, paling-paling dari pelajaran Sains yang mereka dapat di sekolah. Tapi itu pun cuma sebatas teori: bahwa gempa bumi adalah getaran yang terjadi di permukaan bumi. Gempa bumi biasa disebabkan oleh pergerakan kerak bumi atau lempeng bumi. Gempa bumi terbagi dua yakni gempa tektonik dan gempa vulkanik. Gempa tektonik disebabkan oleh pelepasan tenaga yang terjadi karena pergeseran lempengan plat tektonik, sedangkan gempa vulkanik terjadi karena ada aktivitas memuncak di gunung berapi.[7] Hanya itu yang mereka tahu. Sebab tak pernah bisa diberikan contoh secara konkret saat pelajaran berlangsung. Dan lantaran pengetahuan mereka sebatas teori, di benak mereka tentu tak terbayang bahwa gempa bumi bisa menyebabkan kehidupan berakhir. Yang mereka tahu, ada pemandangan menarik saat rumah bergoyang-goyang seperti menari, jeep butut maju mundur seperti sedang poco-poco dan kawat listrik berdesing-desing seperti tali yang diputar-putar untuk bermain lompat tali. Wajar jika mereka tertawa-tawa. Tak ada kecemasan.

Hampir satu menit bumi bergejolak. Saat semuanya terhenti, ada nafas panjang yang mereka hirup bersama-sama. Lega rasanya sudah berhasil melewati masa kritis dan berakhir bahagia karena nyawa masih bersemayam di badan. Rasanya seperti baru melintasi sebuah goa panjang yang gelap dan basah dengan aneka satwa yang sewaktu-waktu bisa menyerang dan melumat habis-habisan. Begitu sampai di ujung dan melihat cahaya, seperti melihat kehidupan yang kembali terpapar di depan mata.

“Ya Allah… tolong… tolong… tolong…!”

Suara jeritan tetangga sebelah rumah yang sudah renta tiba-tiba memecah kesunyian sesaat. Jeritannya menyadarkan mereka – warga hampir sekampung – bahwa sangat mungkin gempa yang terjadi semenit lalu menimbulkan korban. Jangan-jangan salah satu korbannya adalah tetangga mereka yang sehari-hari berjualan makanan yang setiap pagi didatangi istri Don untuk sarapan pagi kedua bocah manisnya. Maka, orang-orang pun segera berlari menuju ke arah suara. Alhamdulillah, ternyata tetangga itu tak terluka sedikit pun. Ia berteriak-teriak lantaran bangunan dapurnya yang sangat sederhana dan hanya disangga kayu-kayu yang mulai lapuk itu roboh. Saat itu ia tengah memasak menyiapkan dagangan. Akibatnya, api kecil mulai terlihat merambat di antara tumpukan kayu yang awalnya adalah atap dan penyangga dapur.

Don dan beberapa tetangga pun segera mengangkut pasir – kebetulan di depan rumahnya banyak pasir di karung lantaran anaknya sedang merenovasi rumah – dan menyiramkannya ke arah api. Mereka kembali berlomba dengan waktu. Berkarung-karung pasir mereka timbunkan ke arah api agar tak merembet dan membakar rumah. Tatkala api sudah tak lagi menampakkan lidahnya, mereka pun bernafas lega.

Alhamdulillah, api sudah padam, Mbah. Beruntung cuma dapur yang roboh. Allah masih melindungi kita[8],” anak lelaki pemilik rumah yang masih terlihat shock itu mencoba menenangkan ibunya.

Si ibu hanya mengangguk. Namun semua orang yakin, ia masih sangat terkejut. Tatapannya masih terlihat kosong. Ia seperti masih berada di batas kesadaran atas apa yang baru saja menimpanya.

Don segera keluar dari rumah itu dan kembali menengok istri dan kedua bocah manisnya. Mereka belum masuk ke rumah. Bukannya tak berani, namun masih berkumpul dengan tetangga di jalanan kampung, saling bercerita dan berbicara tentang kejadian yang sama-sama dialami. Itulah hebatnya orang Jawa, meski sama-sama mengalami peristiwa yang sama, namun tetap saja ada cerita yang bisa dibagi. Cerita tentang pengalaman yang baru saja dialami: tentang posisinya yang sedang mandi ketika gempa terjadi sehingga terpaksa keluar dari kamar mandi hanya berbalut handuk, tentang kompor yang belum sempat dimatikan, tentang terjatuh dari tempat tidur lantaran belum bangun saat bumi murka dan sebagainya dan seterusnya. Saat bercerita semacam itu, biasanya tidak ada ketakutan atau kecemasan. Yang ada justru tertawa-tawa mengingat kejadian-kejadian lucu yang sesungguhnya bisa saja menyebabkan nyawa mereka terlepas dari raga. Sungguh ironis. Namun itulah hidup. Itulah manusia Jawa yang selalu bisa mensyukuri nasib lewat caranya sendiri.











DON dan istrinya mengantar dua bocah manisnya ke sekolah pukul 07:15, terlambat 15 menit dari jadwal masuk sekolah. Don yakin para guru bisa memaklumi, lantaran musibah baru saja terjadi. Musibah yang tentu saja tak pernah direncanakan kedatangannya. Dan pagi itu pun terpaksa dua bocah manis itu mandi dengan air dingin. Don memberi pengertian ke mereka tentang gempa bumi, tentang musibah yang beruntung tidak mencabut kehidupan mereka. Kedua bocah menurut. Tak protes. Barangkali hati mereka juga tergerak dan tersadar atas apa yang baru saja mereka alami bersama.

Don sengaja bawa tustel untuk mengabadikan kemungkinan adanya rumah atau bangunan roboh akibat gempa itu. Naluri kewartawanan – ceile – memberinya isyarat untuk membawa benda itu. Siapa tahu bermanfaat. Mereka masih tertawa-tawa sepanjang jalan. Don lihat salah satu sudut pojok beteng[9] roboh. Namun hanya bangunan semacam kubahnya saja yang runtuh. Dan selebihnya, rumah-rumah masih berdiri megah. Sungguh dalam benaknya saat itu, ternyata gempa bumi yang baru saja terjadi hanya gempa dalam skala kecil. Apalagi Don melihat di kampungnya juga tak satu pun bangunan rumah yang roboh. Hanya ada satu dapur yang runtuh, itu pun lantaran kondisi bangunannya yang sudah sangat rapuh, bukan lantaran kerasnya goncangan gempa.

Sepanjang perjalanan menuju ke sekolah, Don juga melihat beberapa mobil bak terbuka membawa beberapa orang dalam keadaan terluka dan sangat kotor: penuh debu. Dalam pikiran Don, mereka adalah satu atau dua orang pekerja bangunan yang mungkin saja menjadi korban gempa lantaran tembok yang mereka dirikan belum sempurna sehingga roboh. Sungguh, Don tak sadar, bahwa hari itu masih pagi – bahkan sangat pagi – bagi seorang pekerja bangunan untuk mulai kegiatannya.

Di sekolah, Don sengaja tak meninggalkan dua bocah manisnya seperti biasa. Ia dan istrinya sepakat memutuskan untuk menunggu. Mereka cemas, jangan-jangan gempa terjadi lagi dan kedua bocah manis itu ketakutan. Di seberang sekolah, di depan sebuah pintu kecil, Don melihat dua buah bed lengkap dengan infus dan orang yang terbaring tak berdaya di atasnya, masing-masing ditemani seorang perawat. Mereka pasien Rumah Sakit PKU Muhammadiyah[10] yang pasti terpaksa dikeluarkan sementara untuk mengantisipasi kemungkinan buruk. Dengan tenang dan santai Don pun memotret mereka.

Don lantas punya gagasan untuk memotret bagian depan rumah sakit itu. Barangkali saja lebih banyak pasien yang dikeluarkan dari tempat perawatan. Tentunya sebuah gambar yang bagus untuk dimuat di korannya. Dan benar saja, pelataran parkir rumah sakit penuh. Bahkan jalan di depan rumah sakit pun padat oleh mobil. Suara klakson bersautan seperti saling menyalak, berebut minta jalan lebih dulu. Dan yang baru saja disadari oleh Don adalah sebagian besar yang memadati tempat parkir rumah sakit itu bukanlah pasien dari dalam, melainkan pasien yang baru saja datang. Dan sebagian dari mereka masih tergeletak di trotoar jalan dengan wajah penuh darah, tangan patah, kaki patah, wajah pucat pasti, suara tangis, tubuh berselimut debu. Mereka korban gempa. Lebih mengiris hati lagi, dalam hitungan menit, jumlah mereka terus bertambah berlipat-lipat.

“Ya, Allah… mengapa jadi begini? Jadi, gempa yang baru saja terjadi sangat serius? Bukan sekadar goncangan sayang yang kadang terjadi saat Gunung Merapi mulai menari?”

Tubuh Don mulai gemetar. Ia tak menyangka, gempa yang berlangsung kurang dari satu menit – tepatnya 57 detik – itu ternyata membawa korban.



[4] Jeep double gardan atau berpenggerak roda ganda yang dibuat untuk melintasi segala medan.

[5] (bhs Jawa): gempa bumi

[6] Don memanggil istrinya dengan panggilan Mih, yang berarti Mamih dan istrinya memanggil Don dengan panggilan ayah. Tapi kedua anak mereka memanggil ibunya dengan sebutan ibu dan memanggil Don dengan sebutan ayah.

[7] Pengetahuan tentang gempa bumi yang biasa diberikan kepada murid-murid SD. Biasanya mereka belum dikenalkan dengan jenis gempa bumi yang lain yakni gempa bumi runtuhan yang terjadi melalui runtuhan dari lubang-lubang interior bumi, misalnya akibat runtuhnya tambang atau batuan yang menimbulkan gempa

[8] Kearifan kultur Jawa selalu menemukan keberuntungan di atas musibah. Meski rumah roboh, beruntung penghuninya tak tertimpa, meski mengalami kecelakaan parah dan dalam kondisi koma, beruntung masih hidup. Begitulah orang Jawa menyikapi hidup dan nasib.

[9] Pojok beteng berarti sudut benteng yang dibangun mengelilingi Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Karena berbentuk empat persegi – atau malah mungkin bujur sangkar, aku tak tahu pasti – dengan sendirinya ada empat sudut. Namun yang terkenal hanya pojok beteng kulon atau sudut benteng barat dan pojok beteng wetan atau sudut benteng timur.

[10] RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta yang awalnya bernama PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem) didirikan pada 15 Februari 1923 berupa klinik dan poliklinik yang lokasi pertamanya di Jagang Notoprajan No 72 atas inisiatif HM Sudjak yang didukung sepenuhnya oleh KH Ahmad Dahlan. Tahun 1928 pindah lokasi ke Jalan Ngabean No 12 B (sekarang bernama Jl KH Ahmad Dahlan) dan tahun 1936 pindah lagi ke Jalan KH Ahmad Dahlan No 20 hingga saat ini. Tahun 1970 status klinik dan poliklinik berubah menjadi RSU PKU Muhammadiyah. Istilah PKU sendiri berarti Pembina Kesejahteraan Umat. Meski berlokasi di Jalan KH Ahmad Dahlan yang membentang dari arah barat ke timur, namun RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta juga memiliki pintu masuk menuju ke ruang UGD dan sebuah pintu kecil khusus untuk para karyawannya di Jalan Bhayangkara yang membentang dari arah selatan ke utara lantaran posisinya memang nyaris berada di sudut pertigaan. Pintu kecil itulah yang dilihat Don dan dipotretnya dari depan sekolah anaknya yang juga berlokasi di Jalan Bhayangkara..

novel yang belum selesai

dan belum ada judul


(1)

MASIH sangat pagi ketika ia selesai sholat Subuh. Udara panas menyergap dari segala penjuru mata angin. Sepagi itu, udara sudah terasa gerah. Ah, barangkali lantaran semalam ia sama sekali tak bisa memejamkan mata. Ada kegelisahan yang mengharu-biru, seperti sekawanan serigala yang kelaparan dan melihat musang bergerombol di belukar. Serigala yang serta merta menyergap dan tak menyisakan waktu bagi gerombolan musang untuk menyadari bahaya yang sudah ada di depan mata.

Ia pulang dari kantor jauh di tengah malam dan disambut istrinya yang membuka pintu sambil terkantuk-kantuk. Sebuah kegiatan rutin yang mesti dijalani saban malam, kecuali Sabtu malam saat ia boleh tak masuk kerja. Dua bocah manis sudah terlelap. Wajah damai yang mereka miliki menjadi oase bagi kelelahannya.

“Belum tidur juga?” istrinya membuyarkan kebekuan pada dinihari itu.

Ia menggeleng.

“Tak bisa tidur. Panas sekali malam ini.”

Tak ada percakapan lagi. Istrinya kembali menghampiri mimpi. Bukannya tak peduli, tapi memang bukan hal baru ketika mendapati ia masih termangu-mangu di dini hari. Kelelahan kerja malam barangkali membuat seseorang justru kesulitan tidur. Dan dunia jadi terbalik. Siang menjadi malam dan malam berubah jadi siang. Sebuah ritme yang kata orang tak normal. Namun itu konsekuensi dan risiko yang sangat ia sadari ketika 16 tahun lalu memutuskan untuk mengikuti kata hatinya, menentukan pilihan hidupnya: menjadi wartawan.

Ia memulainya dari strata paling awal, menjadi reporter. Ia ingat, tugas pertama yang ia jalani di saat masih pelatihan adalah meliput Jembatan Krasak yang saat itu terputus setelah sehari sebelumnya sebuah mobil tanki pengangkut bahan bakar premix terbakar dan meledak di atasnya. Ruas jembatan itu patah. Akibatnya, pelintas dari Magelang yang hendak ke Jogja maupun sebaliknya harus rela berjalan kaki melintasi sungai atau melalui jalan alternatif yang sempit dan sangat padat.

Tugasnya ketika itu meliput kegiatan para pelintas yang menggunakan jalan lain. Menghitung berapa jumlah kendaraan yang lewat di jalur alternatif itu dan menghitungnya di atas jembatan darurat yang sewaktu-waktu sangat mungkin runtuh lantaran beban yang terlalu sarat. Itu tugas pertama yang ia lakukan dan sampai sekarang masih membekas.

Selesai pendidikan yang hanya berlangsung sekitar dua minggu, ia ternyata mendapat tugas di biro Semarang. Inilah dilema pertama yang ia hadapi, pilihan yang bagi orang lain barangkali terasa absurd, namun tidak baginya. Jika ia tidak mau menerima tugas ke Semarang, ia harus mundur dari penerbitan itu dan berarti sebagian mimpinya harus terkubur bersamanya. Namun jika ia terima tugas di Semarang, ia akan kehilangan sebagian roh kehidupannya lantaran tak bisa lagi menonton teater. Ya, nonton teater. Absurd bukan? Namun itu sudah menjadi semacam makanan rohani yang harus ia telan setiap saat jika tak ingin keseimbangan jiwanya terganggu. Meskipun belakangan – di kurun 8 tahun terakhir – ia justru tak bisa lagi menikmati tontonan teater lantaran telah terbius oleh aroma kultur pop yang lebih modern dan menjanjikan ritme yang lebih dinamis.

Demi impian lamanya yang merasa tulis-menulis yang akan menjadi nafas kehidupannya, tugas ke Semarang pun ia terima. Padahal, sungguh, cita-citanya ingin menjadi wartawan budaya yang tugas liputannya seputar arts[1]. Berbekal nekad lantaran buta lokasi, ia dan seorang kawan seangkatan, Jos[2], berangkat ke ibukota Jawa Tengah itu, bersiap menghadapi udara yang sangat panas, yang sangat jauh berbeda dari Jogja. Selama sekitar dua minggu mereka harus tidur di kantor. Hari-harinya harus dimulai dan diakhiri di ruang yang penuh koran berserakan dan tumpukan undangan peliputan.

Ternyata hanya 20 hari ia di sana. Sebab pada hari ke-21 ia ditarik lagi ke Jogja untuk memperkuat barisan di markas besar. Betapa gembiranya mendengar kabar itu. Tanpa banyak kata, sore itu ia langsung mencegat bus dan kembali ke kampung halamannya yang kedua, menjemput separuh nafasnya yang tertinggal di sana: teater.

***

SEPERTI kuda yang baru dilepas dari karantina, ia merasakan udara yang sangat segar ketika hari pertama berangkat ke kantor di markas besar. Langkahnya terasa pasti dan ringan. Makanan jiwa selalu terhidang di depan mata. Apa lagi yang kurang? Tidak ada. Hidup terasa sangat lengkap, kendati secara fisik ia selalu sendirian. Jomblo justru membuat hidup terasa istimewa. Tak ada keharusan menengok seseorang setiap Sabtu malam justru menjadi kepuasan yang tiada banding. Banyak waktu untuk nonton teater, banyak waktu untuk mencurahkan perhatian pada pekerjaan. Harapan menjadi wartawan budaya yang ia idam-idamkan sungguh menggoda lidah untuk mencaploknya.

“Don, untuk sementara, sebelum penempatan, kamu non-bid dulu,” kata Pak Pram, Wakil Pemimpin Redaksi – yang memanggil namanya dengan inisial yang tertulis di tiap hasil liputannya, sedangkan nama lengkapnya adalah Sardono – ketika ia menghadap untuk melaporkan kedatangannya.

Non-bid. Itu sebutan di kantornya untuk wartawan non bidang, yang bertugas secara umum, tidak di bidang tertentu seperti kota, hukum dan kriminal, ekonomi, olahraga atau budaya. Wartawan non-bid, berarti harus siap bertugas kapan saja dan di mana saja untuk meliput bidang apa saja. Kenyataan yang sangat jauh meleset dari angan-angannya. Dan untuk sementara ia harus menahan diri, mengendalikan keinginannya agar tak menyeleweng dari sistem, agar ia tak memaksakan kehendak yang tentunya bisa berakibat fatal.

Salah satu tugas pertamanya sebagai wartawan non-bid adalah wawancara dengan salah seorang budayawan dari Jakarta. Tokoh yang baginya – sebagai wartawan ingusan – sangat besar dan berada di awang-awang. Di matanya, dia budayawan dan seniman yang hadir dengan segala kesempurnaan. Dan wawancara itu berlangsung hanya sesaat, sembari menuruni anak tangga di Tamansiswa. Budayawan itu memang hadir sebagai salah satu pembicara dalam peringatan Hari Kebangkitan Nasional kala itu.

Hasil wawancara sambil berjalan – yang berlangsung hanya dalam hitungan menit, sehingga tak terlampau banyak hal yang bisa digali – itu ternyata memiliki nilai. Setidaknya itu pemikiran subyektifnya sebagai wartawan yang masih sangat ingusan dan belum punya pengalaman bekerja sebagai wartawan harian, meski sebelumnya Don menjadi koresponden lepas sebuah media hiburan. Buktinya, berita itu lantas muncul 1 kolom di halaman 12[3] korannya. Sebuah hasil yang menggembirakan. Sebab halaman 12 menjadi etalase kedua setelah halaman 1. Dan selanjutnya banyak berita yang ia tulis dan menjadi konsumsi berbagai halaman di media itu. Ia pun mulai menemukan kenikmatan sebagai wartawan non-bid.

Meski sudah mulai bisa beradaptasi dengan tugas itu, namun keinginan menjadi wartawan budaya masih terus mengaduk-aduk isi kepalanya. Ia mencoba melobi Laras, redaktur halaman budaya. Laras tertarik – apalagi latar belakang pendidikan Don juga mendukung untuk meliput aktivitas-aktivitas kesenian yang menjadi denyut nadi kehidupan Jogja – namun Laras harus tunduk pada sistem. Laras tak punya hak untuk memilih wartawan yang bernaung di bawah kendalinya. Redaktur liputan budaya, Giyarso, juga ia dekati. Dan Giyarso berjanji akan mengusahakannya.

Nyaris tak ada kerja – lantaran tugas liputan sudah dibagi untuk wartawan-wartawan yang punya bidang tertentu – Don pun nekad mencari jejak sendiri. Don nekad meliput kegiatan budaya yang bertebaran dan hanya sedikit yang menyentuhnya. Kendati tanpa penugasan dari redaktur, setiap hari Don meliput aktivitas kesenian yang pure art di banyak tempat; mulai dari pentas teater, pentas tari, maupun ketoprak. Redaktur halaman budaya yang diserahi hasil liputannya tentu saja senang, karena punya tambahan tenaga untuk bidang liputan yang kurang diminati oleh orang lain itu.

Dan kehidupan memang berjalan seperti kereta yang melaju di atas rel. Berjalan sendirinya tanpa terganggu oleh riuh rendah dan lalu lalang jenis kendaraan yang lain. Tanpa keputusan resmi dari pimpinan, Don menjadi wartawan desk budaya. Sempurnalah sebagian cita-cita dan harapannya selama ini. Maka ia pun bisa sangat kenyang menyantap makanan rohaninya dengan lahap.

Ritme kehidupannya mulai berubah ketika Giyarso yang saat itu menjadi redaktur budaya harus pindah tugas ke Jakarta. Don yang selama ini kerap menggantikan tugasnya untuk sementara jika Giyarso sedang cuti atau libur, ditugaskan untuk menggantikan posisinya sebagai redaktur budaya. Maka, kehidupan malam pun mulai menjadi bagian dari kehidupannya. Kehidupan malam yang berarti tugas mulai sore hingga malam, saat deadline tiba. Ritme hidupnya pun berubah: siang ia jadikan malam dan malam ia jadikan siang. Kelelahan kerja malam, ia selalu baru bisa memicingkan mata setelah matahari terbit, di saat yang lain mulai berangkat bekerja. Sebuah ritme yang bagi orang lain dianggap abnormal namun baginya sangat indah.

Pola kehidupan semacam itu berlangsung selama bertahun-tahun. Apalagi ketika perusahaan yang sudah berganti manajemen memercayai Don untuk menduduki jabatan sebagai redaktur pelaksana. Semakin sempurnalah kehidupan kelelawarnya. Jika ketika masih menjadi redaktur ia bisa pulang sekitar jam 21:00, maka sejak menjadi redaktur pelaksana jadwal kepulangannya harus diundur, setidaknya hingga jam 01:00 dini hari. Dengan beban tugas yang makin berat, kelelahan yang ia rasakan pun tentu saja semakin bertambah. Tetapi tetap saja ia sering tak mampu memicingkan mata di malam hari, atau tepatnya dini hari.

Beruntung, istrinya sangat memahami hal itu. Istrinya tak pernah mempersoalkan malam-malamnya selalu dihiasi dengan kehidupan sendirian, hanya ditemani dua bocah manis. Dan di tengah malam, ketika sedang nikmat-nikmatnya mimpi, harus siap mendengar ketukan pintu atau jendela dan selanjutnya membukakan pintu.

Dalam kondisi lelah, adalah kenikmatan yang luar biasa melihat dua bocah manis yang terlelap. Mereka nyaris tak pernah ditemani ayahnya untuk belajar atau sekadar bercanda. Siang hari, ketika mereka pulang sekolah, ayahnya sedang terkapar tak berdaya di tempat tidur, merajut mimpim-mimpi yang tersisa. Sedangkan malam hari, saat mereka harus tidur, mereka hanya ditemani sang ibu, sementara ayahnya harus membelai-belai tuts komputer dan menatap manja monitor di depannya.

Lagi-lagi sebuah pola hidup yang pasti menurut orang lain abnormal. Namun Don menikmatinya. Dan tak ada protes yang keluar dari mulut dua bocah manis yang setiap Sabtu malam selalu berebut minta dikeloni. Bagi dua bocah itu, Sabtu malam menjadi malam yang sangat istimewa. Kerinduan mereka untuk bisa tidur ditemani ayahnya terwujud malam itu. Setelah mengantar tidur kedua bocah manis itu, Don pun belum tentu langsung tidur. Jika penyakit sulit tidur malamnya kambuh, meski libur dari kerja, tetap saja kedua matanya terasa sulit dipejamkan. Kalau sudah begitu, jika tak bercengkerama dengan komputer, Don lebih suka menonton televisi.

Biasanya, jika semalaman tak tidur dan istrinya belum bangun lantaran kelelahan, Don membangunkan istrinya jam 05:00 untuk memasak air buat mandi kedua bocah manis itu. Ritual selanjutnya adalah mengantarkan kedua bocah manis itu ke sekolah. Dan sepulang mengantar sekolah, Don segera menjumpai dewi mimpi. Don menjemputnya dengan kepulasan yang memuaskan.

Namun suatu hari, ritual rutin selama bertahun-tahun itu harus berubah seketika. Perubahan yang sama sekali tak ingin dilakukannya. Perubahan yang ia lakukan karena terpaksa. Sangat terpaksa.



[1] Secara umum selalu ada dikotomi arts dan entertainment, yang kerap diterjemahkan menjadi seni dan hiburan. Dalam desk budaya juga pembagian itu terjadi. Ada wartawan yang meliput entertainment, yakni aktivitas-aktivitas hiburan atau seni pop dan ada yang meliput arts yang meliputi aktivitas-aktivitas seni serius semacam teater, tari, pameran lukisan, pameran patung dan sebagainya.

[2] Sebagian wartawan media cetak umum dipanggil bukan dengan nama lengkap atau nama panggilannya, melainkan dengan nama inisial yang tercantum dalam hasil liputannya, seperti: gea, ndo, yup, yul dan sebagainya. Biasanya itu terjadi secara otomatis ketika inisialnya bisa menjadi kata ganti kedua atau kata ganti ketiga. Sedangkan sebagian yang lain, tetap dipanggil dengan nama panggilan mereka sehari-hari.

[3] Saat itu, di tahun 1990-an, koran daerah kebanyakan terbit 12 halaman dengan format halaman 1 dan 12 berwarna sedangkan halaman dalam hitam putih. Halaman 1 merupakan etalasi dan halaman 12 menjadi etalase kedua karena jika dibentangkan atau dipajang di koran dinding, kedua halaman itu menyatu dan satu bentangan.